14 - The Beginning

29 2 0
                                    

Disaat yang lainnya sibuk menyiapkan liburan setelah lulus SMA, Cindy justru sebaliknya, dia tenggelam dengan beberapa interview pekerjaan. Cindy sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah karena ia tak mau menyusahkan wanita itu lagi. Semakin lama dia menerima bantuan wanita itu semakin dalam rasanya dia tenggelam dalam hutang budi. Dan itu hanya membuat hatinya semakin resah. Dia ingin keluar dari rumah kastil itu. Terlepas dari genggaman wanita itu. Bukan genggaman, tapi cengkraman. Ya, kebaikan wanita itu seperti cengkraman baginya dan setiap hari cengkraman itu semakin kuat membelengggunya.

Untuk itu Cindy menolak permintaan Madam Juliet untuk melanjutkan kuliah. Dia berharap perjodohannya dengan Dewa akan berjalan lancar dan lelaki itu dapat mengeluarkannya dari rumah kastil itu. Namun disaat yang bersamaan, Cindy juga menyiapkan diri jika perjodohan itu tak sesuai harapannya.

Pertunangannya dengan Dewa telah membuat Cindy menjadi banyak sorotan di berbagai media dan ia akan memanfaatkan itu demi karirnya. Karir yang baru saja Cindy putuskan dihari kelulusannya, yaitu menjadi seorang selibriti. Entah itu sebuah cita-cita yang baik atau dia tak memiliki jalan lainnya. Yang pasti dia ingin segera keluar dari rumah kastil itu dan ... oh ya memiliki rumah kastil sendiri. 

Cindy berjalan tergesa memasuki lobi hotel berbintang lima itu. Sepatu hak tinggi berwarna cokelat yang berukuran sembilan senti itu cukup membuat dia kewalahan. Sepatu yang baru saja sebulan lalu dibelinya disalah satu toko sepatu di pusat grosiran di Thamrin dengan harga dua ratus limapuluh ribu rupiah. Ya, tentu saja dibayar dengan rupiah, kalau dengan dolar sudah pasti dia tak berada disini, ditengah kota Jakarta nan sumpek.

Setibanya dilobi hotel seorang pria berparas tampan, bahkan terlalu tampan, menyambut Cindy dengan senyum marketingnya. Salah satu pria yang terlalu tampan itu bergegas menghampiri Iyem begitu melihat gadis itu berjalan sempoyongan seperti orang mabuk.

"Mari saya bantu Mbak." Kata lelaki yang berkulit putih bersih bak aktor korea itu. Iyem menyambut tawaran bantuan pria tampan itu dengan senyuman termanisnya. Siapa yan tak senang dibantu oleh pria berparas aktor korea? Nenek-nenekpun akan menerimanya dengan senang hati. Dan untungnya dirinya bukan seorang nenek genit. Batin Cindy.

Pria itu memberikan tangannya untuk Cindy berpegangan. Kegagahan sekaligus kelembutannya membuatnya ingin segera menggengam tangan kokoh itu. Langkah kaki Cindy mulai tertatih bagai wanita yang lemah gemulai dan gemar makan gulai.

Pria itu menuntun Cindy ke kursi terdekat. "Nggak apa-apa Mbak?" Tanyanya dengan lembut begitu merasakan tubuh Iyem yang semakin bersandar disamping tubuhnya.

Duh. Kenapa laki seganteng ini jadi tukang jaga pintu sih? Batinnya.

Cindy menggeleng tersenyum. Kemudian pria itu membantunya duduk dikursi dan masih berdiri disana saat Iyem membuka sepatu. Melihat tumit kaki Iyem yang lecet pria itu langsung jongkok dihadapannya dan memeriksa tumitnya.

"Tunggu disini ya. Saya carikan tansoplast." Katanya sambil menatap Cindy.

Cindy tersenyum mengangguk. "Makasih ya." Kemudian pria itu bergegas pergi.

Sepatu sialan. Gerutu Cindy pada sepatu kesayangannya. Dari puluhan sepatu heels yang ia punya, inilah sepatu kesayangannya walaupun semua heels itu tak bedanya dengan sepatu kesayangan. Selalu membuat tumitnya lecet.

Apakah harga sepatu murah itu penyebab kelecetan? Batin Cindy. Kemudian matanya memandang ke pria yang sedang berjalan tergesa kearahnya.

"Sorry nungguin." Kata pria itu seraya berlutut dihadapan Cindy. Cindy tersenyum menggeleng, dalam hatinya ia merasa tersanjung dengan permohonan maaf yang menurutnya tak diperlukan itu. Pria itu segera membuka tansoplas dan membalutkannya ditumit kaki Cindy. Setelah selesai, dia mendongak menatap Cindy.

CINDYEMRELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang