Acha sering bertindak gegabah lalu berujung menyesalinya. Namun jika dibandingkan sebelumnya, rasanya tindakan ini yang membuatnya menyesal sampai banyak diam.
"Gus Isal, terimakasih karena sudah ditemani. Tapi Gus Isal pulang saja sekarang. Nanti umi mau ke sini. Aku takut beliau berpikir macam-macam karena hanya ada Gus Isal yang di sini menemani aku."
Itulah ucapan dan tindakan yang ia anggap gegabah lalu ia sesali hingga hari ini. Bahkan karena terlalu memikirkan benar atau salah tindakannya, Acha sampai sering diam dan melamun.
Awalnya Acha anggap hal itu benar, karena dia baru saja kena tegur oleh umi Sanah. Apa kabar jika dia terlihat berduaan lagi dengan gus Isal. Akhirnya, keluarlah kalimat itu, menyuruh Faisal pulang ketika memperkirakan umi Sanah akan segera tiba.
Akan tetapi, akhirnya ia menyesali ucapan itu karena dari malam di mana ia mulai dirawat dan ditemani Faisal, sampai hari ketiga dia di rumah sakit, pria itu tak datang lagi.
"Acha... Achadiya,"
Panggilan dari mamanya yang berhasil menarik Acha dari rasa sesal.
"Iya, Ma?"
Sean tak lantas menjawab, lebih dulu ia menatap Acha dengan dahi sedikit mengerut.
"Kenapa, Ma?" tanya Acha lagi karena mulai salah tingkah ditatap mamanya seperti itu.
Lagi-lagi Sean tak menjawab, ia mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi Acha. Menggerakkan sedikit wajah anak gadisnya itu seolah sedang mencari sesuatu di sana.
"Kamu beneran pas jatuh kemarin kepalanya tidak membentur apapun? Sepertinya Mama perlu kasih tahu Papa buat minta kamu di CT scan. Mama kok khawatir."
Acha langsung melongo mendengar penuturan sang mama. "Ya Allah, Ma, Acha nggak separah itu. Kemarin sebenarnya nggak rawat inap juga nggak apa-apa."
Menghela napas jengah, Sean menepuk pipi Acha pelan. "Kalau dokter udah menyarankan ya diikuti aja. Dokter lebih paham. Terus Mama itu khawatir, kamu kok dari kemarin banyak diam dan melamun. Mama kok curiga kepala kamu kebentur pas kecelakaan kemarin."
Dengan cepat Acha memaksa otaknya menyiapkan jawaban yang logis. Untung saja otaknya cepat berkompromi.
"Acha lagi sibuk-sibuknya kegiatan kuliah ini, Ma. Ditambah ada rencana muter-muter sama teman cari tempat KKN. Tapi keadaan Acha malah begini, mau maksa tetap jalan pasti Mama bakal ngomelin Acha. Ya, kan?"
Mendengarnya membuat Sean langsung mendenguskan tawa. "Suudzon sama Mama. Papa sama Mama malah udah mikirin itu dari kemarin."
"Apa? Yang jelas Acha nggak mau ikut pulang dan absen kuliah lama. Acha nggak apa-apa, Ma. Nanti bakal hati-hati."
Sean membiarkan anaknya menyelesaikan ucapan panjangnya. Baru setelah Acha puas mengeluarkan uneg-unegnya, menyampaikan janjinya untuk selalu hati-hati, Sean akhirnya menjawab, "Bahkan Papa udah memprediksi kamu bakal ngomong panjang lebar seperti ini."
Acha meringis malu mendengarnya. Orangtua nya ini memang sangat peka dan perhatian pada dirinya.
"Papa udah cari rumah untuk sementara Mama tinggal di sini. Mama di sini sampai kamu benar-benar sembuh. Papa juga sudah matur sama bu nyai, kamu tinggal bareng Mama dulu minimal seminggu. Ini nanti kamu udah boleh pulang, dan kita pulang ke rumah itu."
****
Selama ini Acha memang merasa tak pernah kekurangan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya. Namun Acha tetap saja takjub ketika mendapat perhatian sebesar ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam Putih Dunia Pesantren
RomanceIni tentang seorang gadis bernama Achadiya Divyan AlMalik dan dunianya di pesantren yang tidak selalu putih bersinar. Di manapun tempatnya pasti selalu akan ada dua sisi, hitam dan putih. Pun dengan dunia pesantren yang dikenal dengan surganya para...