"Apa abah harus minta menantu sebagai balas budimu, Sal?"
"Menikah tidak semudah itu bagi Faisal, Bah."
"Kenapa? Apa kamu takut istrimu tidak diterima di sini? Selama ada Abah, semua baik-baik saja."
"Faisal menikah tapi tidak tinggal di sini, atau Faisal tetap di sini bersama Abah, tapi tidak ada pernikahan."
Percakapan yang Faisal ingat, ketika semalam sang abah kembali menyinggung soal pernikahan.
Abahnya memang tidak seperti kebanyakan kyai yang langsung menyiapkan calon untuk anaknya. Abahnya cenderung membebaskan Faisal untuk menikahi wanita yang memang diinginkan. Sederhana saja keinginan Abahnya, ingin melihat Faisal menikah sebelum mati.
Namun masalahnya, tidak sesederhana itu bagi Faisal. Hingga sebelum sang abah memintanya menikah, sama sekali dia tidak terpikirkan untuk menikah. Keinginan ada, tapi dia selalu berusaha memerangi keinginan itu. Sebab dia paham sekali kehidupan seperti apa yang sedang dijalani.
Jika pernah ada yang mendengar kisah perebutan tahta di suatu kerajaan, cerita serupa juga terjadi di dalam keluarganya. Bukan hanya di kerajaan, di dalam pesantren pun ada kisahnya karena Faisal benar-benar merasakannya sendiri.
Meskin tidak pernah ada ucapan secara langsung dari mulut ketiga saudaranya, namun Faisal sangat paham jika di antara mereka diam-diam saling menginginkan untuk bisa menjadi penerus utama pondok pesantren itu. Tak jarang, antara satu sama lain saling menyerang dengan pendapat untuk meraih simpati santri dan semua komponen pondok. Dan hal itu sudah menjadi rahasia umum, apalagi di kalangan alumni, sebagian mereka sudah hafal.
Faisal tahu lebih banyak dari yang mereka tahu. Namun sebisa mungkin dia tetap akan bertahan di keluarga itu, seburuk apapun badai yang terjadi di dalamnya. Karena Faisal juga merasakan kebaikan yang besar di sana. Untuk itu, dia rela terjebak sebagai rasa terima kasih nya.
Bisa dibayangkan kenapa Faisal tidak ingin mengambil resiko besar dengan membawa seorang wanita yang tidak tau apa-apa, masuk ke dalam keluarga problematik itu. Cukup dia saja yang terjebak di dalamnya.
"Sal, LPJ sudah oke, kamu bisa pulang!"
Salah satu teman Faisal berdiri di ambang pintu ruang kerjanya dan berhasil menghentikan lamunan Faisal.
"Ya," jawab Faisal.
Sudah lewat setengah jam dari waktu pulang kerja namun Faisal belum berniat pergi dari sana dengan alasan menunggu laporannya jika masih ada yang harus diperbaiki. Padahal alasan sebenarnya adalah dia tidak ingin cepat-cepat pulang. Mungkin dalam waktu dekat dia akan merencanakan cuti untuk pergi menenangkan diri sejenak.
Baru saja dia menyandarkan kepala pada kursi, ponselnya tiba-tiba berdering. Melihat nama Nada—salah satu kakanya, Faisal merasa enggan. Namun akhirnya tombol penerima panggilan itu tetap bergeser.
"Sal, Abah di rumah sakit sekarang!"
Faisal langsung terduduk sempurna. "Kenapa, Mbak?"
"Tiba-tiba tidak sadarkan diri,"
Segera Faisal mematikan komputer, membereskan barang-barang nya tanpa mematikan telepon.
"Lalu sekarang?"
"Aku tidak tahu, tadi mau ikut anakku nangis terus. Abah cuma sama umi dan mbak pondok."
Faisal berhenti melangkah. Seketika emosi melanda hatinya. Segera ia matikan telepon tanpa merespon ucapan kakaknya lagi. Dan tanpa berniat pulang dulu, Faisal langsung pergi ke rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam Putih Dunia Pesantren
RomanceIni tentang seorang gadis bernama Achadiya Divyan AlMalik dan dunianya di pesantren yang tidak selalu putih bersinar. Di manapun tempatnya pasti selalu akan ada dua sisi, hitam dan putih. Pun dengan dunia pesantren yang dikenal dengan surganya para...