23. Dosen Pribadi

2.1K 391 35
                                    

Tidak bisa untuk tidak kepikiran. Itu yang Acha alami sekarang ini meski berulang kali Faisal mengingatkan agar dirinya berhenti memikirkan masalah antara Faisal, Rehan dan ibunya.

Masih jelas dalam ingatan Acha bagaimana sedihnya wanita bernama Nimas itu ketika menangis di depan Faisal sambil memohon untuk dimaafkan. Entah kenapa Acha merasa bahwa Nimas sudah sangat yakin bahwa Faisal anaknya. Lalu, dibandingkan dengan Nimas dan Rehan, Acha juga lebih merasa khawatir pada suaminya sendiri.

Sejak bertemu beberapa hari yang lalu dengan Rehan dan ibunya, Faisal tidak pernah menyinggungnya lagi. Pria itu meski berusaha bersikap biasa, namun Acha bisa merasakan bahwa suaminya menyimpan beban pikiran yang teramat besar. Terlihat sekali gurat lelah dan tertekan di wajahnya. Namun sayangnya pria itu tak tahu bagaimana caranya berbagai kesedihan. Seolah ingin menyimpan beban pikirannya sendiri tanpa ingin menyeret Acha ke dalamnya. Padahal mereka juga harus memikirkan perihal acara resepsi.

Ingin rasanya Acha memaksa agar suaminya berkenan mengungkapkan isi hatinya, namun berdasarkan nasehat dari papa dan mamanya—ketika mereka datang beberapa hari lalu, agar Acha membiarkan Faisal tenang terlebih dahulu. Mamanya juga berulang kali mengingatkan agar Acha bisa menahan diri, sebab Sean hafal bagaimana Acha jika sedang dihadapkan dengan masalah.

"Apa masih kurang, Cha?"

"Hmm? Apa Mbak?"

Acha tidak begitu mengerti maksud pertanyaan Ulfah karena sejak tadi pikirannya melayang ke mana-mana.

"Kamu ngelihat Gus Faisal sampai segitunya, apa kurang tiap hari sudah bareng?"

"Oh," Acha meringis malu.

Sejak tadi memang Acha terus menatap suaminya yang sedang duduk di mimbar simaan quran. Dirinya memang ikut menyimak bersama santri-santri lain dalam rangka simaan menjelang acara khataman akbar yang akan dilaksanakan empat hari lagi. Acha Memegang mushaf untuk menyimak, namun percayalah, pikirannya tidak di sana melainkan memikirkan masa lalu suaminya yang masih abu-abu.

"Oh iya, Cha," Ulfah kembali mendekatkan diri ke Acha agar apa yang akan ia katakan tidak terdengar yang lain. "Kasus kemarin sudah diputuskan,"

"Gimana, Mbak?" tanya Acha, dia malah melupakan kasus itu karena fokus pada masalah suaminya sendiri.

"Setelah menyelidiki beberapa hal, memang kedekatan mereka tidak wajar, Cha. Menurut pengakuan teman kamarnya, mereka dekat layaknya adik kakak karena yang kuliah ini kan aslinya dari luar Jawa. Dia berdalih bahwa jauh dari keluarga sehingga di sini keluarganya ya si santri yang tidak kuliah ini."

Acha mendengarkan dengan seksama meski harus sesekali melirik ke arah mimbar, tempat Faisal duduk dan masih melantunkan ayat-ayat alquran.

"Kemarin malam itu sidang, Cha. Di ndalem, karena umi penginnya masalah ini benar-benar tertutup. Pengurus saja hanya beberapa yang dibiarkan tahu."

"Lalu bagaimana dengan mereka, Mbak?"

"Dipisahkan. Yang kuliah dikeluarkan dari pondok. Sudah menghubungi orang tua nya juga. Sama umi diberi tahu pelan-pelan. Dan yang satu masih dipegang umi di sini. Pelan-pelan nanti diperbaiki. Karena menurut abah Husein, yang kuliah ini yang lebih dominan. Jika tetap dibiarkan di sini, takutnya akan berpengaruh ke yang lain lagi."

"Semoga segera sembuh ya, Mbak."

Ulfah mengangguk. "Aku kaget banget, Cha, ketika itu dipanggil umi terus beliau cerita sambil nangis. Selama ini memang aku melihat mereka dekat, tapi tidak menyangka kalau kedekatan mereka ke arah terlarang."

Acha pun sama. Apalagi dia yang mendengar langsung kejadian malam itu. Tapi sekarang dia bisa bernapas lega karena setidaknya sudah tertangani.

Lalu, ketika matanya kembali menatap depan, melihat suaminya sedang membaca dengan tenang, justru kembali membuat hati Acha prihatin. Tidak tau kenapa, malah dirinya yang merasa resah. Ingin rasanya memaksa suaminya mendengarkan penjelasan ibu Nimas. Namun ia ingat pesan papanya kemarin.

Hitam Putih Dunia PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang