One step closer.
Satu tahapan lagi berhasil Acha lalui dengan cukup baik. Kurang lebih dua puluh hari membaur langsung dengan masyarakat, mengaplikasikan ilmu secara langsung. Dia bisa bernapas dengan lega karena kewajiban KKN nya sudah terlewati meski setelah ini masih harus menancap gas untuk mengerjakan skripsi.
"Bareng aja ayo, Cha!" ajak salah satu teman Acha ketika melihatnya masih menunggu jemputan.
"Duluan aja, Nin! Aku nunggu dijemput nggak apa-apa."
Gadis bernama Nindi itu masih belum beranjak karena hanya tinggal dirinya yang masih di sana bersama Acha. Nindi memang kebagian tugas membawa barang-barang yang kelompok mereka pakai selama kegiatan karena yang lain memakai motor.
"Yakin, Cha? Udah sore banget lho ini. Memang suami kamu sudah sampai mana?"
Acha juga tidak tahu. Ia kembali memeriksa ponsel, pesan dan panggilannya belum dijawab oleh Faisal. Terakhir kali mereka bertukar pesan sudah beberapa jam yang lalu ketika Faisal mengabarkan bahwa dirinya sedang istirahat siang di kantor.
"Ayo bareng aja!" ajak Nindi lagi.
Melihat hari yang semakin sore, juga tidak adanya kejelasan dari Faisal, akhirnya membuat Acha memutuskan untuk pulang bersama Nindi. Ia pamit lagi pada sepasang suami istri yang merupakan kepala dusun setempat, tempat Acha dan teman-temannya menginap selama kegiatan KKN.
"Nanti aku turun di perempatan pasar itu aja." ucap Acha setelah mobil yang dikemudikan oleh kekasih Nindi mulai berjalan. Ia berbicara sambil mengirim pesan pada Faisal bahwa dirinya sudah pulang bersama Nindi, khawatir Faisal akan menjemput sehingga tidak bertemu.
Nindi menoleh. "Terus kamu masih jalan kaki ke pondokmu?"
Acha mengangguk. Sore hari begini biasanya jalan raya depan komplek pondok ramai dan Acha kasihan jika Nindi dan kekasihnya harus repot putar balik.
"Tidak apa-apa, kita antar sampai depan pondok aja. Sekalian ini, Mbak Acha, ajak Si Nindi biar tobat!" jawab kekasih Nindi lalu tertawa.
Nindi langsung protes dan berakhir dia berdebat manja dengan kekasihnya. Acha yang duduk di belakang hanya bisa ikut tersenyum meski hatinya tiba-tiba merasa mencelos, rindu dengan suaminya. Sejak diajak bulan madu singkat waktu itu, mereka baru bertemu sekali, tepatnya empat hari yang lalu. Seharusnya sore ini sudah bertemu, tapi malah tidak ada kabar.
Sesuai dugaan Acha, jalanan di depan komplek nya ramai sekali. Agar tidak merepotkan temannya, Acha meminta untuk diturunkan di pinggir jalan karena untuk menyeberang masuk ke komplek, kendaraan terlalu padat. Sekali lagi Acha mengucapkan terimakasih pada Nindi dan kekasihnya.
Setelah mobilnya pergi, Acha berdiri di sisi timur jalan menunggu jalanan lengang untuk menyeberang. Di saat itu ia melihat mobil Faisal di jalan sisi sebelah barat. Mobilnya melintas pelan dari arah selatan hingga masuk dan berhenti di depan komplek an nadwah 1—tempat Acha mondok.
Tak berselang lama, keluar dari mobil itu dua santri berpakaian putih. Mata Acha tidak minus, sehingga dia bisa melihat dengan jelas bahwa yang keluar dari mobil itu adalah Ulfah dan Mina. Hatinya terasa panas, itu jelas. Namun Acha mencoba berkepala dingin, perlu mencari tahu terlebih dahulu tentang apa yang terjadi.
Meski jalanan sudah aman untuk menyeberang, nyatanya Acha tetap berdiri di pinggir jalan. Ia masih menyaksikan ketika mobil Faisal berputar dan keluar lagi ke jalanan menuju komplek 2—tempat tinggal Faisal, yang tak jauh dari komplek 1.
Akhirnya Acha memutuskan untuk melanjutkan langkah menuju kompleknya sambil membawa ransel dan goodie bag. Baru saja Acha berhasil menyeberang ketika ia merasakan ponsel yang digenggam bergetar. Ada nama suaminya di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam Putih Dunia Pesantren
RomansaIni tentang seorang gadis bernama Achadiya Divyan AlMalik dan dunianya di pesantren yang tidak selalu putih bersinar. Di manapun tempatnya pasti selalu akan ada dua sisi, hitam dan putih. Pun dengan dunia pesantren yang dikenal dengan surganya para...