Banyak yang mengatakan bahwa marahnya orang pendiam itu seringnya menakutkan. Namun hari ini Faisal katakan bahwa marahnya orang yang banyak bicara juga tak kalah mengkhawatirkan.
Satu hari berlalu ia menginap di rumah sakit. Keadaannya sudah jauh lebih baik, bahkan jika diperbolehkan pulang sekarang pun rasanya Faisal sudah baik-baik saja. Akan tetapi, ada satu hal yang belum baik-baik saja, istrinya.
Sejak kemarin harus dirawat di rumah sakit, Acha selalu menemani dan merawatnya. Namun sungguh, Faisal merindukan istrinya yang banyak bicara dan banyak tersenyum. Sejak kemarin istrinya itu hanya bicara seperlunya, bahkan jika tidak ditanya, tidak pula bersuara.
"Acha, bagaimana kelanjutan skripsi nya?" Faisal mencoba mencari topik pembicaraan ketika dirinya kembali hanya berdua dengan Acha dalam kesunyian. Setengah jam yang lalu, keluarga Semarang baru saja pulang menjenguknya.
Sambil merapikan meja Acha menjawab, "Belum ada kelanjutan, masih sibuk."
Faisal menipiskan bibirnya melihat Acha yang masih marah, terlihat dari sikapnya yang belum ceria. Kemudian ia duduk dengan kaki yang menjuntai ke bawah, dan beranjak dari tempat tidurnya.
Beberapa kali melihat suster mengganti infusnya, Faisal jadi tahu bagaimana caranya menutup tetesan infus sehingga dia lakukan itu agar infusnya berhenti menetes untuk sementara waktu. Setelah yakin infusnya berhenti, ia ambil botol infus dari tiangnya lalu membawanya berjalan menghampiri Acha yang masih saja cuek.
Tanpa meminta izin, Faisal memeluk istrinya yang sedang marah itu dari belakang. Menautkan kedua tangannya di depan dada Acha. Dan tentu saja membuat Acha kaget karena melihat botol infus dalam genggaman suaminya.
"Apa-apan sih, Gus? Nanti kalau darahnya tersedot ke atas bagaimana?"
"Tinggal suruh putar balik, Acha."
Acha tak segan berdecak lalu melepaskan tangan suaminya dan memutar tubuh untuk menghadap suaminya. "Nggak lucu!" ketusnya.
Faisal menghela napas pasrah lalu mendudukkan diri di sofa yang ada di depan Acha, meletakkan botol infusnya di meja. Acha balik badan hendak menghindar dari jangkauan suaminya namun gerakan Faisal menahan tangannya lebih cepat sehingga kini Acha duduk di samping suaminya.
"Maaf, Acha." pinta Faisal pelan namun penuh keseriusan. "Jangan marah-marah terus, nanti saya lama sembuhnya."
Rayuan yang sama sekali tidak berhasil membuat Acha goyah. Hanya membuat wanita itu sedikit melirik karena ingin protes tentang kesembuhan pria di sampingnya ini. Orang yang sedang sakit tidak mungkin bisa jalan-jalan sambil menenteng infus seperti yang baru saja Faisal lakukan.
Melihat Acha yang masih keras pendirian, akhirnya Faisal menggunakan cara terakhir untuk meminta maaf. Ia berdiri lagi untuk mengambil ponsel yang ada di meja dekat bed pasien. Kemudian ia kembali lagi duduk di samping Acha.
"Apa?" tanya Acha masih dengan nada ketusnya ketika Faisal menyodorkan ponsel di hadapannya.
"Buka saja!"
Acha mengambil ponsel Faisal dan membukanya dengan enam angka password yang sudah ia hafal. Ditatapnya layar ponsel yang menunjukkan paket tour 3H2M private pool villa Bali.
"Kamis depan tanggal merah, Jumat cuti bersama, kita pergi liburan ya?" ujar Faisal sambil mengusap punggung Acha.
"Gus Isal sedang berusaha menyogok agar aku tidak marah lagi? Memang sudah sembuh?"
Faisal hanya bisa tersenyum tipis. "Sebenarnya iya. Tapi tolong pura-pura tidak tahu saja. Anggap itu semangat dari saya agar skripsian mu lancar. Soal sembuh, insyaallah sudah. Sekarang pun saya sudah siap pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam Putih Dunia Pesantren
RomanceIni tentang seorang gadis bernama Achadiya Divyan AlMalik dan dunianya di pesantren yang tidak selalu putih bersinar. Di manapun tempatnya pasti selalu akan ada dua sisi, hitam dan putih. Pun dengan dunia pesantren yang dikenal dengan surganya para...