Mobil yang ditumpangi mamanya sudah tak terlihat lagi sehingga Acha segera meninggalkan halaman ndalem umi Sanah. Sebenarnya keinginan mamanya, Acha masih harus menunggu sampai pulih total untuk kembali ke pondok. Akan tetapi gadis itu sudah merasa terlalu lama meninggalkan pondok.
Jika sedang masa liburan, tentu saja dia senang berlama-lama tinggal bersama sang mama. Namun saat ini, bukan sedang dalam masa liburan pondok sehingga seminggu sudah cukup baginya untuk pemulihan. Apalagi dia merasa bahwa cidera yang dialami tidak terlalu parah. Akhirnya, sang mama mengalah meski tetap memberinya pesan panjang kali lebar.
"Mbak Acha sudah betulan sembuh kan?" tanya umi Sanah ketika ia hendak menuju kamarnya. Tadi dia ikut bertamu dengan sang mama di kediaman gurunya.
"Alhamdulillah, Umi. Sudah tidak apa-apa kok," jawab Acha.
Acha maju ke depan untuk sungkem lagi sekalian pamit untuk ke kamar. Namun sebelum jauh, Umi Sanah memanggilnya.
"Nggih, Umi?"
Menatap Acha sejenak, lalu Sanah tersenyum lembut. "Masuk lagi, sebentar!"
Tanpa bertanya lagi, Acha langsung mengikuti langkah gurunya masuk kembali ke dalam rumah. Lantas ia memposisikan diri duduk di bawah ketika umi Sanah duduk di kursi kesayangannya.
Acha tetap diam menunggu gurunya bersuara meski dalam hati kini dia merasa sangat penasaran kenapa diajak bicara empat mata begini.
"Apa Mbak Acha sudah ada rencana menikah?"
Reflek Acha mengangkat pandangannya untuk menatap Sanah. Ya meskipun kehaluan menikah kerap kali muncul di pikiran, namun tetap saja kaget ketika ditanya langsung seperti ini.
"Maksud Umi, apa dari orang tua atau mungkin keluarga besar Mbak Acha sudah ada yang merencanakannya?"
Dengan sisa-sisa keterkejutan yang kini bercampur gugup, Acha menjawab, "Pada dasarnya mama dan papa saya belum pernah menyinggung hal itu secara langsung pada saya, Umi. Di keluarga saya memang banyak yang dijodohkan, akan tetapi tidak pernah mengharuskan. Semua kembali ke hati masing-masing."
Setidaknya seperti itu yang Acha pahami sistem dalam keluarganya. Ada beberapa yang ia tahu menikah karena dijodohkan, namun tak sedikit pula yang bertemu jodohnya lewat pilihan sendiri.
Sanah tersenyum, sepertinya dia juga ragu untuk mengutarakan niatnya. "Bagaimana... Jika Umi ada niatan menjodohkan Mbak Acha?"
Kembali lagi wajah Acha mendongak. Di pesantren memang bukan hal mengejutkan jika tiba-tiba dijodohkan oleh kyai atau bu nyai nya. Tapi tetap saja Acha kaget. Dirinya bukan termasuk deretan mbak pengurus maupun mbak ndalem. Karena biasanya santri-santri itu yang mendapat keistimewaan jalur jodoh dari sang guru.
"Saya, Umi?"
Umi Sanah mengangguk dengan lembut. "Entah mengapa, hati Umi berkeinginan seperti itu Mbak Acha. Namun Umi juga ragu, seperti sungkan dengan keluarga Mbak Acha. Beliau-beliau kan masayikh besar, sudah pasti perihal seperti itu dipikirkan dengan sangat teliti apalagi untuk cucunya."
Acha yang biasanya banyak omong kini mendadak merasakan lidahnya kaku. Terus terang saja dia bingung. Semua terasa mengejutkan. Banyak hal berputar di pikirannya. Tentang pertanyaan yang mengarah ke dawuh. Tentu dia tidak ingin menjadi santri suul adab yang tidak mengindahkan gurunya. Lalu, jika ia terima, dengan siapakah akan dijodohkan?
Pertanyaan-pertanyaan yang terus berdatangan, hingga ujungnya akan sampai pada pertanyaan, bagaimana nasib harapannya pada Faisal? Karena ketika pria yang dijodohkan ini berasal dari usulan Umi Sanah, maka delapan puluh persen ia yakin orangtuanya akan setuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam Putih Dunia Pesantren
RomanceIni tentang seorang gadis bernama Achadiya Divyan AlMalik dan dunianya di pesantren yang tidak selalu putih bersinar. Di manapun tempatnya pasti selalu akan ada dua sisi, hitam dan putih. Pun dengan dunia pesantren yang dikenal dengan surganya para...