"Umi, Acha sama Gus Isal akan buka puasa hari pertama di rumah ibu Nimas."
Kalimat pemberitahuan yang sukses membuat Lihah terdiam sesaat. Dia dan Acha sedang berada di dapur untuk menyiapkan sahur hari pertama.
Lewat kalimat yang menantunya ucapkan itu juga Lihah menyadari bahwa meskipun puluhan tahun berlalu, masih terasa efek nyeri di hati ketika mendengar nama perempuan itu disebut.
Jika bisa jujur, Lihah merasa tidak rela saat melihat Faisal kembali pada ibu kandungnya. Dia sadar betul bahwa Nimas lebih berhak. Akan tetapi, sejak awal dirinya yang menginginkan Faisal hidup bersamanya, menjadi anak lelakinya. Untuk itu meski Faisal lahir di atas s1akit hatinya, Lihah tetap mencintai Faisal layaknya Ina dan adik-adiknya.
"Faisal yang minta, Nduk?"
"Bukan, Umi."
Entah kenapa Lihah merasa lega mendengar jika bukan Faisal yang sebenarnya ingin datang ke rumah ibunya. Bukan ingin egois, tapi Lihah benar-benar merasa tak ingin kehilangan anak itu.
"Sebenarnya sudah sejak beberapa hari yang lalu ibu Nimas mengundang makan malam, Umi. Tapi karena Acha dan Gus Isal sama-sama sibuk, jadi belum ada waktu. Kemarin ketika Acha memberi ide untuk buka puasa hari pertama, Gus Isal setuju."
Lihah tersenyum simpul meski ada rasa setengah tidak rela. Acha yang cukup peka dengan keadaan, langsung mengajukan pertanyaan dengan ragu.
"Umi dan abah, tidak apa-apa kan?"
Kembali lagi Lihah tersenyum. "Ya tidak apa-apa, Nduk. Dia juga ibunya Faisal. Umi senang jika Faisal sudah mau menerima ibunya lagi."
Bukan perkataan bohong meski ada rasa tidak rela. Lihah benar ikut senang jika hubungan Faisal dan ibu kandungnya membaik.
Berbekal percakapan di dini hari itu, sore harinya Acha dan Faisal benar-benar menunaikan ucapan untuk datang ke kediaman ibunya. Walau tau pasti akan disiapkan banyak menu, apalagi buka puasa pertama, mereka tetap berhenti untuk membeli buah tangan.
"Abah tadi apa tidak ridho sama kita ya, Mas?"
Pertanyaan Acha tak langsung dijawab karena Faisal mengingat ucapan abahnya.
"Segera pulang, Abah selalu menunggumu."
Bagi Acha memang kalimat itu terdengar seperti sebuah peringatan agar Faisal tidak lama-lama berada di rumah ibunya sendiri. Akan tetapi bagi Faisal, hal itu sudah biasa.
"Abah selalu mengatakan hal itu ketika aku pamit pergi. Ke manapun."
Ya, memang seperti itu. Sejak dulu, jauh sebelum rahasia mereka terbongkar, Khalid selalu terlihat khawatir dan tidak rela jika Faisal pamit pergi ke suatu tempat. Seolah bisa mengetahui isi hati Faisal bahwa pria itu ingin pergi jauh.
"Abah itu sepertinya tidak pernah ingin jauh dari Mas."
Faisal tersenyum tipis mendengarnya. Sesuatu yang tidak salah karena sudah acap kali ia mendengar sendiri dari mulut abahnya, betapa pria itu tidak ingin ditinggalkan oleh Faisal.
Pesanan kue mereka akhirnya selesai dibungkus sehingga mereka segera meneruskan perjalanan ke rumah Nimas.
Sejujurnya, Faisal belum bisa bersikap biasa jika bertemu wanita yang telah melahirkannya itu. Masih ada sisa rasa canggung yang sulit ia hilangkan. Untung saja ada istrinya yang selalu bisa mencairkan suasana. Sehingga dia tidak perlu repot-repot untuk membangun suasana, karena memang dia tidak ahli dalam hal itu.
Sama halnya ketika Acha mengabari akan datang lewat telepon, Nimas tentu menyambut dengan sangat senang ketika anak dan menantunya itu tiba. Seharian tadi dia sudah menyiapkan banyak makanan. Tidak tertinggal rendang ayam, kesukaan Faisal. Setidaknya dulu ketika kecil, Faisal sangat menyukainya. Nimas harap sulungnya itu masih tetap menyukai masakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam Putih Dunia Pesantren
RomanceIni tentang seorang gadis bernama Achadiya Divyan AlMalik dan dunianya di pesantren yang tidak selalu putih bersinar. Di manapun tempatnya pasti selalu akan ada dua sisi, hitam dan putih. Pun dengan dunia pesantren yang dikenal dengan surganya para...