Pekan ini menjadi pekan yang cukup sibuk bagi Faisal dan Acha, berikut keluarganya. Setelah acara resepsi di Semarang, tiga hari kemudian ada acara ngunduh mantu yang di laksanakan di komplek an nadwah dua.
Pelaminan yang tak kalah megah—berasal dari vendor yang sama yaitu Bening decoration, juga menghiasi halaman komplek itu. Hanya saja konsepnya sedikit berbeda karena yang di acara ini berdominasi warna biru.
Dalam acara itu Acha baru menyadari bahwa suaminya benar-benar sakit. Sepanjang acara Faisal lebih banyak duduk dan terlihat memaksakan diri untuk mengikuti acara hingga selesai. Untuk itu, ketika acara usai, Faisal langsung menuju kamarnya. Merasakan pusing yang cukup menganggu.
Faisal terbaring di tempat tidurnya ketika keluarga Semarang sudah pamit pulang, sementara Acha yang sudah berganti baju, ikut duduk bersama umi Lihah menemui beberapa tamu yang masih berdatangan. Ketika itu, ada satu keluarga yang hadir. Acha harus sedikit menahan diri ketika yang datang adalah keluarga Mina.
"Yang gamis hitam itu, pengelola panti tempat Umi sama abah mengambil Faisal." Lihah berbisik pada Acha ketika rombongan Mina baru akan masuk.
Acha mengangguk paham. "Acha bangunkan Gus Isal dulu, Umi."
Namun sebelum Acha benar-benar beranjak, Lihah menahan tangannya. "Kalau Isal tidak kuat benar, tidak usah dipaksa. Kemarin mereka sudah bertemu."
Meski bingung kapan suaminya bertemu dengan keluarga panti, Acha tetap mengangguk dan meneruskan niatnya untuk ke kamar.
Dengan perlahan ia membuka pintu kamar. Faisal masih tertidur di sana. Masih memakai celana hitamnya dan kaos dalam berwarna putih. Wajahnya memang tampak sayu, jelas sekali lelahnya. Dengan perlahan juga Acha menempelkan tangannya ke kening Faisal, masih terasa panas.
Sebenarnya Acha tidak tega, tetapi sentuhnya di kening membuat Faisal terbangun.
"Ada apa?" tanya pria itu.
"Ada keluarga panti datang."
Faisal menghela napas, terdengar berat sekali.
"Kata umi, kalau Gus Isal tidak kuat, tidak keluar juga tidak apa-apa."
Mendengarnya, Faisal mengangguk. "Kemarin saya sudah bertemu ibu panti. Mungkin sekarang memang khusus menemui abah dan umi."
"Gus Isal ketemu kapan? Aku tidak tahu."
"Kemarin, saya ke sana."
Sejujurnya Acha ingin sekali mengejar jawaban sejelas mungkin. Namun melihat suaminya terlihat begitu sayu, Acha mengurungkan niatnya.
"Jadi Gus Isal tidak akan keluar untuk menemui mereka?"
"Sampaikan permintaan maaf saya. Saat ini saya benar-benar pusing."
Acha mengerti dan dia tidak ingin ambil pusing. Untuk itu ia segera keluar dari kamar.
Hal pertama yang ia lakukan adalah menyalami keluarga panti yang datang, termasuk Mina. Ketika berhadapan dengan gadis itu, Acha memaksakan senyumannya. Begitu juga dengan Mina, yang hanya tersenyum sekilas lalu kembali bersikap acuh. Acha bisa peka melihat raut kecewa di wajah Mina ketika tidak melihat Faisal bersama Acha.
Acha kembali ke samping ibu mertuanya. Ikut bercakap untuk menghormati tamu, meski dalam hati merasa malas berhadapan dengan Mina.
"Mbak Mina sudah boyong, ya?" tanya Lihah.
"Sampun, Umi." jawab Mina dengan senyumnya.
"Sudah dekat waktu nikah ini?"
Mina hanya tersenyum mendengarnya. Orang tuanya juga ikut tertawa ringan sambil meminta doa agar Mina segera dipertemukan dengan jodohnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam Putih Dunia Pesantren
RomanceIni tentang seorang gadis bernama Achadiya Divyan AlMalik dan dunianya di pesantren yang tidak selalu putih bersinar. Di manapun tempatnya pasti selalu akan ada dua sisi, hitam dan putih. Pun dengan dunia pesantren yang dikenal dengan surganya para...