32. Rahasia Kakak Beradik

1.8K 379 57
                                    


Sudah belasan jam berlalu, serpihan cermin kaca yang berserakan di kamar baru dibersihkan oleh Faisal. Sengaja ia tidak meminta bantuan santri karena tidak ingin banyak spekulasi yang timbul jika orang lain masuk ke kamarnya. Dengan menggunakan sapu dan kain, ia mengumpulkan serpihan-serpihan itu dan ia masukkan ke dalam kantong plastik.

Tepat di saat dia masih berlutut, pintu kamarnya diketuk dan detik berikutnya dibuka oleh umi Lihah.

Wanita itu berjalan mendekat dan langsung duduk di tempat tidur, mengamati Faisal yang masih sibuk dengan serpihan-serpihan hasil dari kaca yang ia hancurkan.

"Seharusnya kamu tahan dulu istrimu di sini," ucap Lihah seraya menatap penuh prihatin ke arah anak tirinya itu.

"Biarkan saja. Dia butuh ketenangan." jawab Faisal pelan.

"Tapi bagaimana dengan respon keluarganya? Kamu antar dia pulang dengan kondisi kalian yang tidak baik-baik saja."

Faisal tak menjawab. Sejujurnya itu juga yang ada dipikirannya. Acha pulang ketika mereka sedang ribut besar. Namun melihat istrinya yang sangat ingin pulang, Faisal mengalah. Mungkin benar mereka sedang butuh memikirkan kesalahan masing-masing. Untuk itu, setelah sholat subuh tadi pagi, Faisal sendiri mengantar Acha ke rumah orangtuanya.

Meski tidak ada obrolan lebih dari lima kalimat selama perjalanan ke Semarang, Faisal tetap ingin memastikan istrinya pulang dengan selamat sampai rumah.

"Tanganmu itu sudah kamu beri obat apa?"  tanya Lihah lagi.

Tadi pagi, sewaktu sebelum subuh terdengar suara benturan yang cukup jelas dari kamar ini, Lihah sudah membatin resah. Dan ternyata apa yang ia takutkan benar terjadi. Faisal tidak bisa mengendalikan dirinya hingga menghancurkan cermin lemari.

Pun dengan orang rumah yang lain. Yakin sekali bahwa mereka juga mendengar sewaktu Faisal menghantam kaca itu. Tapi kondisi semuanya sedang tidak baik sehingga tidak ada yang mendekat untuk memeriksa saat itu juga.

Oleh karena itu, baik Lihah maupun yang lain tidak bisa menahan ketika Acha pamit pulang ke rumah orangtuanya. Melihat Acha masih dalam keadaan baik secara fisik, kecuali matanya yang bengkak karena menangis, Lihah bisa bernapas lega karena setidaknya Acha tidak terluka dan suara benturan itu tidak menyakiti fisik Acha sedikitpun.

"Sudah tidak apa-apa. Sudah dicuci." jawab Faisal seraya berdiri membawa kantong plastik berisi serpihan cermin kaca ke tempat sampah.

Pandangan Lihah terus mengikuti kemanapun gerak Faisal. Ia yakin, putranya itu masih belum baik-baik saja.

"Ditutup plaster luka agar tidak infeksi. Yakin tidak perlu ke klinik?" Lihah kembali memastikan dan Faisal hanya menggeleng.

Keadaan keluarga ini belum kondusif. Semua masih saling diam satu sama lain. Nada memilih menyingkir ke rumah mertuanya lebih dulu. Dalam hal ini anak-anak yang paling susah menerima dan diantara semua, jelas Lihah paling mengkhawatirkan Faisal.

"Ini kan akhir pekan, Sal, kenapa kamu tidak menginap saja di sana? Umi khawatir jika Acha di sana sendiri dalam keadaan seperti ini."

Itulah salah satu kekhawatiran Lihah. Memang hanya anak tiri, pun Lihah pernah enggan melihat Faisal ketika kecil karena teringat bagaimana sakit hatinya dikhianati ibu dan abahnya Faisal. Namun lambat laun, ia menyayangi Faisal dengan tulus. Ia sadar bahwa Faisal tidak memiliki salah apapun. Faisal juga tidak bisa memilih dari orangtua mana ia akan lahir. Untuk itu, Lihah begitu mengkhawatirkan nasib hubungan Faisal dan istrinya. Dia takut jika masalah ini tidak bisa diterima oleh keluarga besar Acha. Ditambah lagi, Faisal yang sempat hilang kendali dan bertindak kasar di depan Acha.

Hitam Putih Dunia PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang