33. Kehilangan Acha

2.3K 403 77
                                    

Faisal sudah rapi siap berangkat. Tepat di saat membuka pintu kamar, abahnya berdiri tak jauh. Tangan kanannya memegang tongkat sementara tangan kirinya berpegangan pada dinding yang menuju kamar Faisal.

"Mau pergi, le?"

Melihat abahnya yang menatapnya penuh harap membuat Faisal tidak tega. Akhirnya ia dekati abahnya dan dibantu kembali ke kamarnya. Meski belum banyak bicara, Faisal tetap mencoba memaafkan semua dan menerima kenyataan hidupnya.

"Kamu mau pergi ke mana?" ulang Khalid karena belum mendapat jawaban.

"Menjemput Acha."

Khalid mengangguk lega. Ia juga paham bagaimana kondisinya sekaligus sangat merasa bersalah karena semua ini adalah berawal dari kesalahannya. Melihat Faisal yang masih bersikap dingin, Khalid tentu sedih. Namun dia akan tetap bersabar menunggu.

"Abah tetap akan menunggu kamu memaafkan Abah. Jangan tinggalkan Abah."

Khalid harus benar-benar bersabar karena anaknya belum ingin banyak bicara padanya. Faisal tidak pergi saja sudah harus ia syukuri.

"Kenapa Abah dulu tidak memilih ibu?"

Pertanyaan yang tiba-tiba dan jelas membuat Khalid tak siap. Hingga ia butuh beberapa saat untuk merenungkannya.

"Karena memang sejak awal salah." ucap Khalid mencoba jujur. "Abah telah menerima amanah besar dari pak kyai Zain. Mendedikasikan hidup Abah untuk kemaslahatan pesantren. Tapi di tengah jalan Abah berbuat salah dengan kembali berhubungan dengan ibumu. Lalu kami sama-sama sepakat untuk mengakhirinya."

Jawaban yang sama sekali tidak menyentuh hati Faisal. Sejujurnya ia malah semakin muak mendengar penjelasan abahnya. Semudah itukah mereka memutuskan untuk bersama, lalu berpisah?

Akan tetapi Faisal ingat kata-kata dr. Abdi, bahwa memaafkan sejatinya adalah obat mujarab untuk diri sendiri. Orang-orang bisa dengan mudah melakukan segala hal sesuai keinginan mereka, dan  dirinya juga punya pilihan untuk tidak membiarkan rasa sakit hati dan kecewa itu lebih lama bersarang di hatinya. Faisal ingin menggapai bahagianya  bersama Acha, untuk itu dia tidak ingin membiarkan luka masa lalu menghalanginya. Dan cara untuk menghilangkan luka itu dengan memaafkan dan menerima. Sulit memang. Tapi dia sedang berproses untuk bisa melakukannya.

"Jika bertujuan berpisah, kenapa harus melahirkanku?"

Khalid kembali bungkam. Setiap pertanyaan yang Faisal lontarkan adalah wujud dari rasa kecewanya dan Khalid mencoba memahaminya.

"Abah minta maaf, Sal. Abah menyesal karena kesalahan masa lalu tapi Abah tidak pernah menyesal memiliki mu."

Faisal memejamkan mata sejenak. Mencoba menekan gejolak yang mendesak keluar. Diraihnya tangan abahnya sebagai tanda pamit, tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, ia keluar dari kamar abahnya.

Memacu mobil membelah jalanan menjemput impian. Itulah tujuan Faisal sekarang. Enam hari ia rasa sudah lebih dari cukup baginya menenangkan diri. Dan semoga begitu juga dengan Acha meski hingga detik ini, istrinya itu belum ingin menjawab pesan maupun panggilannya.

Faisal melewati sebuah jalan yang tidak asing. Tiba-tiba ada sebuah dorongan kuat untuk mengarahkan mobil menuju sebuah daerah yang ia kenal. Kawasan yang menjadi tempat tinggal ibunya.

Mobilnya berhenti sekitar dua puluh meter dari rumah Nimas. Tak lantas berniat keluar karena tiba-tiba dirinya dikuasai rasa bimbang. Entah untuk alasan apa, matanya berkabut ketika melihat Nimas berada di luar rumah sembari menyemprot bunga-bunga indahnya.

Seperti ada ikatan batin, tiba-tiba Nimas juga mengedarkan pandangan hingga berhenti di mobil yang berhenti tak jauh dari rumahnya. Ia pandangi mobil itu karena merasa tidak asing. Akan tetapi sebelum ia berjalan mendekat, mobil itu sudah bergerak lalu semakin jauh hingga tak terlihat lagi.

Hitam Putih Dunia PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang