38. Dunia Itu Adil

2.2K 391 52
                                    

Lapar tapi tidak nafsu makan. Itu yang sedang Acha rasakan saat ini meski di depannya terdapat beberapa jenis menu makanan. Bukan karena sedang ngidam, asam lambung atau bahkan anoreksia, melainkan karena situasi dan kondisi yang sedang tidak memungkinkan untuk makan.

"Ibu tetap akan terima apapun sikap kamu pada Ibu, Nak. Karena memang Ibu sangat salah. Seandainya saja dulu Ibu tidak takut miskin, Ibu pasti akan membawa kamu, apapun yang terjadi."

Acha melirik Faisal yang duduk terpekur di sampingnya. Sebelumnya Rehan menghubunginya untuk mengajak makan malam atas permintaan ibunya, namun Acha belum berani mengatakannya pada Faisal. Lalu, ketika setelah mereka pergi dari rumah dr. Abdi akhirnya ia berani menyampaikan ajakan itu, Acha malah terkejut melihat Faisal mengangguk meski tak mengucapkan apapun. Bahkan hingga setengah jam lamanya mereka duduk di ruang makan rumah Rehan, Faisal juga tak banyak bicara. Atau memang benar-benar tidak bicara.

"Lebih baik kita makan, aku lapar." sela Rehan yang merasakan atmosfer dingin di ruangan ini.

Nimas mengangguk sambil memaksakan senyumnya. Sejak tadi pandangannya lebih banyak tertuju pada Faisal.

"Ayo dimakan! Saat Rehan mengatakan kamu bersedia maka di sini, Ibu langsung memasakkan makanan kesukaan kamu."

Faisal tak menanggapi. Dia memilih meraih gelas di depannya untuk minum. Di bawah meja, tangan kanan Acha terulur untuk menggenggam tangan suaminya yang berada di atas paha. Acha tahu bahwa untuk bisa duduk di sini, pasti sesuatu hal yang sulit bagi Faisal. Namun Acha terharu karena suaminya itu benar-benar berniat untuk berdamai dengan takdirnya.

Acha berinisiatif untuk mengambilkan makanan di piring suaminya namun tertahan ketika tiba-tiba Nimas berdiri dan lebih dulu mengisi piring Faisal. Acha tidak tersinggung sama sekali, dia berharap hubungan antara suaminya dan Nimas bisa segera mencair. Dia sangat bisa merasakan bahwa Faisal ingin menghancurkan dinding sakit hati yang menghalangi hubungannya dengan Sang Ibu, tapi memang tidak semudah itu.

"Biar Acha yang ambil sendiri, Bu." ucap Acha ketika Nimas hendak mengisi piringnya.

"Jangan sungkan-sungkan ya, Nak Acha."

Acha mengangguk. Akan tetapi dia hanya mengambil sedikit saja. Rasanya tidak ada yang merasa nyaman untuk makan dalam kondisi seperti ini.

Menit demi menit berlalu dan tidak ada yang bersuara. Hanya suara denting sendok dan piring. Berulang kali Acha melirik suaminya yang benar-benar makan dalam diam. Bahkan sampai makan malam mereka selesai pun belum ada yang bersuara.

"Acha, bukankah kemarin kamu mau pinjam buku ku?" Di tengah keheningan itu, Rehan bersuara.

Awalnya Acha bingung karena dia tidak merasa ingin pinjam apapun dari Rejan. Namun ketika akhirnya ia bisa menangkap maksud lain dari Rehan, ia mengangguk.

"Ada bukunya, Mas?"

"Ada, tapi harus bongkar-bongkar sedikit."

Kembali lagi Acha mengangguk. "Kalau tidak merepotkan dicari sekarang saja. Biar bisa aku bawa pulang nanti."

"Ayo!"

Rehan berdiri dan diikuti Acha namun tatapan tajam Faisal yang dilayangkan untuk Rehan membuat pria itu berhenti.

"Iya, Mas. Ini aku jaga jarak dari Acha!" ucap Rehan. "Astagfirullah, sensi banget." lanjutnya dengan nada lebih pelan, persis seperti menggerutu.

Acha hanya meringis saja ketika mengikuti langkah Rehan. Dan ketika pria itu berhenti di ruang tengah dan berjongkok untuk mencari buku di rak bawah TV, Acha ikut berjongkok.

"Aman Mas kita tinggalkan mereka?"

Rehan menatap Acha dengan bingung. "Tidak mungkin juga mereka akan saling pukul, Cha!"

Hitam Putih Dunia PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang