"Besok siang sudah waktunya abah kontrol bulanan ke dokter. Obatnya tinggal untuk besok, jadi periksanya tidak bisa mundur."
Tidak segera ada yang menjawab seusai umi Lihah—ibunda angkat Faisal berbicara. Di sana ada Faisal, dan dua putri umi Lihah serta satu menantunya.
"Siapa yang bisa antar?" ujar Lihah lagi.
Ina—anak pertama menyahut, "Memang Faisal tidak bisa?"
Semua mata kini melirik Faisal yang duduk anteng di karpet bawah. Meski merasa semua orang di ruangan itu menatapnya, Faisal tidak lantas berminat mengalihkan pandangannya dari ponsel untuk memberi jawaban pada mereka.
"Sal!" panggil Ina dengan sedikit geram karena adiknya itu terlihat mengabaikan pembahasan di ruangan itu. "Kebiasaan banget, kalau diajak bicara susah."
Melihat kakaknya yang memang mudah terpancing emosi, Nada—anak kedua menyela, "Mungkin Isal ingin gantian, soalnya setiap bulan selalu dia yang antar abah."
"Ya tapi abah kan harus pakai kursi roda. Abah postur tubuhnya tinggi, butuh tenaga lelaki untuk bantu beliau ketika periksa di rumah sakit." jawab Ina.
"Aku dan mas Ahmad sebenarnya besok luang," Datang lagi dari arah luar wanita bernama Adiba yang merupakan putri ke tiga. "Tapi kan mas Ahmad kakinya baru aja cidera. Jadi belum bisa antar abah."
Semua mata kembali menatap Faisal, untuk mendapat kepastian. Namun pria itu justru bangkit dari duduknya dan menyingkir sambil mendorong kursi roda abahnya ke kamar.
Perdebatan semacam ini bukan kali pertamanya terjadi tapi hampir selalu terjadi di rumah ini. Sehingga Faisal tidak ingin lelah meladeni ketiga kakaknya.
"Faisal!" panggil Ina lagi. "Gimana kepastiannya?"
Akhirnya Faisal menjawab, "Iya, aku yang antar." Kemudian ia lanjutkan langkah dan mendorong kursi roda abahnya.
Begitu sampai ke kamar, Faisal membantu abahnya untuk turun dari kursi roda berpindah ke tempat tidur. Pasca masuk rumah sakit beberapa bulan yang lalu karena serangan stroke, badan pak Yai Khalid memang tidak lumpuh total. Semua bisa normal kembali kecuali sebelah kakinya yang masih belum bisa pulih dan membutuhkan terapi rutin.
"Apapun yang terjadi. Apapun yang kamu rasakan, kamu akan tetap di sini bersama Abah."
Gerakan Faisal sedang menyingkirkan kursi roda terhenti. Berkali-kali sudah Faisal mendengar kalimat itu dari abahnya. Dia memahami, abahnya pasti berpikir Faisal akan pergi ketika sering mendapat sikap kurang nyaman dari anak abah yang lain.
Sejujurnya iya, dia sering memendam rasa sakit hati. Faisal merasa punya kesempatan dan kemampuan untuk pergi dari keluarga angkat yang telah membesarkannya. Akan tetapi, dia tidak akan menjadi orang yang tidak tahu diri karena pergi begitu saja setelah apa yang ia dapat selama ini.
Dia memang dirawat dan diberikan hak yang sama seperti anak-anak yang lain. Diberi pendidikan terbaik, diberi kehidupan yang baik sejak kecil. Akan tetapi, jika bisa jujur, dia merasa tidak pernah mendapat kehangatan dalam keluarga ini. Kehangatan yang benar-benar terasa di dalam keluarga meskipun tidak terlihat orang lain. Bukan kehangatan yang muncul hanya ketika dilihat oleh orang lain.
Namun sekali lagi, Faisal tidak akan menjadi orang yang tidak tahu terimakasih. Tidak akan menuntut sesuatu yang memang tidak wajib keluarga ini lakukan. Apapun yang dia rasakan di dalam keluarga ini, sekuat mungkin dia akan bertahan sebagai balas budinya. Meski harus mengubur keinginan-keinginannya sendiri. Untuk membesarkan hatinya sendiri, dia menganggap bahwa hidupnya saat ini adalah dalam rangka mengabdi pada pak kyai dan keluarganya. Sedikit lebih beruntung dari santri lain yang juga mengabdi, karena dia dianggap anak di keluarga ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam Putih Dunia Pesantren
RomanceIni tentang seorang gadis bernama Achadiya Divyan AlMalik dan dunianya di pesantren yang tidak selalu putih bersinar. Di manapun tempatnya pasti selalu akan ada dua sisi, hitam dan putih. Pun dengan dunia pesantren yang dikenal dengan surganya para...