Komplek khodijah yang merupakan pondok asuhan dari kakeknya Acha, disulap menjadi pelaminan bernuansa gold white sesuai permintaan Acha. Dekorasi yang didominasi bunga-bunga asli dan sebagian imitasi juga backdrop cantik menutupi area halaman pondok hingga terkesan menjadi sebuah istana megah bagi setiap tamu yang datang.
Dari pukul tujuh malam hingga sepuluh malam, berlangsung acara resepsi pertama Acha dan Faisal. Ribuan undangan sudah disebar mengingat luasnya relasi keluarga Acha. Dan senangnya, hampir semua bisa hadir untuk turut mendoakan Acha dan Faisal. Apalagi kehadiran dari banyak keluarga kyai yang menambahkan keberkahan pernikahan mereka.
Seusai acara intinl Acha sudah berganti pakaian dari sebelumnya memakai gaun pengantin bewarna lilac. Kini dia duduk di area pernikahan yang masih belum berubah dan kini menjadi istananya para santri untuk berfoto dan melepas lelah setelah terlibat acara besar itu.
Pun dengan Faisal, pria itu juga sudah mengganti pakaian ketika akan sholat tadi. Kini dia duduk bersama Atta dan saudara-saudara Acha yang lain.
"Pa," Acha mendekati papanya yang kebetulan sedang makan di salah satu meja yang tadi dipakai oleh tamu VIP.
"Makan dulu, Cha, kalau tadi belum sempat makan. Ajak suamimu juga!"
"Sudah tadi, Pa."
Acha mengambil tempat di sisi papanya. Menunggu sang papa selesai makan sambil melihat suaminya yang masih asyik ngobrol dengan yang lain. Tak lama dari itu mamanya mendekat, ikut makan bersama papanya.
Baru ketika sang papa selesai, Acha mulai mengutarakan hal yang ingin ia tanyakan sejak tadi. "Pa, apa tandanya seseorang itu perlu mengunjungi psikolog?"
"Semua boleh datang, meskipun merasa tidak ada tanda apa-apa. Kenapa?"
Acha mengangguk seraya kembali menjatuhkan pandangannya pada Faisal yang duduk berjarak sepuluh meter darinya.
"Acha salah tidak ya, Pa, kalau merasa perlu membawa Gus Isal ke sana?"
Itulah yang menjadi keresahan Acha selama dua hari ini. Dia menceritakannya pada papa dan mamanya.
Kemarin, setelah acara khataman di pondok an nadwah 2 tiba-tiba Faisal memeluknya sambil meminta pendapat, haruskah mendengarkan penjelasan ibunya Rehan tentang masa lalu mereka.
Acha yang waktu itu sedikit bingung mengajukan pertanyaan yang sebenarnya ia sesali hingga sekarang.
"Kenapa Gus Isal merasa harus mendengarkan penjelasan itu? Apa benar beliau itu—"
"Saya mengenali nya, Cha. Saya mengenali wanita itu."
Setelah mengatakan itu, Acha terkejut karena Faisal mengeratkan pelukan dan menangis. Dan beberapa saat kemudian pria itu terduduk sambil memukuli dadanya sendiri, seperti ingin meredakan dadanya agar tidak sesak.
Melihat bagaimana Faisal terlihat begitu tersiksa menahan rasa sakit di hati, membuat Acha tak tega lagi untuk membahas perihal ibunya Rehan. Entah kenapa Acha merasa itu benar-benar menyiksa suaminya.
"Setelah itu bagaimana?" tanya Dito.
"Hingga saat ini seperti biasanya saja, Pa. Tidak ada yang aneh. Hanya ketika itu gus Isal menangis, setelahnya dia malah minta maaf dan bersikap seperti biasanya lagi." terang Acha. "Acha merasa selama ini dia hanya memendamnya sendiri. Mungkin baru dengan Acha kemarin itu dia benar-benar bisa melupakannya. Maksud Acha, mungkin jika mendatangi psikolog, gus Isal bisa mengeluarkan semua yang ia pendam selama ini."
Dito mendengarkannya dengan seksama lalu menjawab, "Papa kira, dia tidak akan mau."
Itu juga yang menjadi dugaan Acha. Mengunjungi psikolog adalah sesuatu yang masih tabu di masyarakat. Merasa bahwa psikolog hanya untuk orang-orang dengan gangguan jiwa. Padahal di klinik psikologi menyediakan banyak layanan selain kesehatan jiwa. Apalagi seorang Faisal, Acha kira akan lebih susah lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam Putih Dunia Pesantren
RomanceIni tentang seorang gadis bernama Achadiya Divyan AlMalik dan dunianya di pesantren yang tidak selalu putih bersinar. Di manapun tempatnya pasti selalu akan ada dua sisi, hitam dan putih. Pun dengan dunia pesantren yang dikenal dengan surganya para...