14. Keresahan Acha

2.5K 416 170
                                    

Kata Acha, halu itu punya dua kemungkinan akhir yang sama besar. Lima puluh persen bisa berakhir ngilu, dan lima puluh persen berakhir seru.

Jika takdir berpihak, maka kehaluan itu akan berakhir seru. Dan jika takdir berkata lain, maka kehaluan itu biasanya berakhir ngilu. Namun akan tergantikan takdir lain yang tak kalah seru.

Pada intinya, kata Acha, jangan ragu untuk menghalu asal tetap memakai ilmu. Siapa tahu saja takdir berpihak padamu. Tidak ada yang tau kan?

Seperti kehaluan Acha yang sepertinya akan berakhir seru. Entah, tapi Acha berharap begitu. Semuanya terasa seperti mimpi. Dirinya hanya minta izin pulang selama tiga hari untuk menghadiri acara kelulusan, diperpanjang menjadi seminggu karena akan ada acara lamaran untuknya.

Masih terekam jelas bagaimana berlangsungnya acara lamarannya dengan Faisal. Masih jelas dalam ingatannya saat Faisal secara resmi mengulang lamarannya di hadapan dua keluarga besar meski dia hanya bisa melihat pria itu lewat layar proyektor. Lalu masih jelas juga bagaimana rasa malu nya ketika harus memegang mic dan menjawab lamaran Faisal di hadapan semua keluarga, khususnya keluarga perempuan yang berkumpul di ruang yang berbeda dengan Faisal dan para lelaki.

Terselip juga momen haru dan sedih ketika dari rumah Acha melakukan panggilan video ke rumah sakit di mana tempat abah Khalid masih di rawat. Pria yang tak pernah menyesal mengakui Faisal sebagai anak itu terlihat menangis ketika akhirnya anak lelaki kesayangannya akan menikah.

Semua momen yang terjadi empat jam lalu itu masih sangat jelas di pikiran Acha. Apalagi ketika dia menunduk dan mendapati tangan kirinya tak lagi sepi. Di jari manis, melingkar cincin berlian yang indah. Lalu di pergelangannya, kini tidak hanya ada smartwatch hitam kesayangannya, namun ada sebuah gelang cantik yang menemaninya.

Sebenarnya, masih ada beberapa barang lain yang Faisal bawa sebagai tanda lamaran. Namun Acha belum sempat membuka semuanya karena dia harus segera bersiap pulang ke pondok bersama umi Sanah dan abi Husein, yang malam ini mewakili orangtua Faisal. Dan tentunya bareng dengan Faisal juga, maka dari itu sejak tadi Acha sibuk menenangkan laju jantungnya karena berada satu mobil dengan Faisal.

Selain satu mobil yang Acha tumpangi ini, masih ada dua mobil lain yang isinya keluarga besar Faisal. Kakak-kakak angkat nya juga terlihat ikut mengantar Faisal.

"Jadi mampir ke rumah sakit dulu kan ini?" Umi Sanah memecah keheningan yang ada di mobil itu. Faisal yang sejak tadi fokus dengan ponselnya langsung menoleh ke belakang.

"Jadi Bude, abah ingin bertemu calon istri Faisal."

Percayalah, Acha yang duduk di sebelah umi Sanah langsung merapatkan bibirnya kuat-kuat agar tidak kelepasan berteriak. Disebut sebagai calon istri oleh seseorang yang selama ini diharapkan sudah pasti terasa membahagiakan. Bahkan rasanya hati Acha lega meskipun duduknya sempit karena dia harus berbagi kursi dengan abi Husein dan umi Sanah.

Umi Sanah tersenyum  penuh arti sambil mengangguk. Dia yang memang sejak awal berniat menjodohkan Faisal dan Acha, tentu merasa ikut bahagia karena akhirnya keinginannya terwujud.

Tak lama dari itu, santri yang bertugas menyetir membelokkan mobil menuju halaman parkir rumah sakit. Setelah mobil berhenti sempurna, satu persatu dari mereka turun dari mobil.

Di kursi belakang, abi Husein turun lebih dulu, setelahnya disusul oleh umi Sanah dan terakhir Acha. Ketika menuju kamar rawat abah Khalid, Faisal berjalan paling depan, di belakangnya ada Umi Sanah yang menggandeng suaminya. Sementara Acha berjalan paling belakang.

Sembari menatap punggung Faisal, muncul pikiran-pikiran negatif di kepala Acha. Dirinya memang merasa senang akhirnya apa yang diharapkan selama ini akan terwujud. Akan tetapi tidak bisa ia pungkiri bahwa ia membutuhkan banyak penjelasan dari pria itu. Terlebih lagi, melihat sikap Faisal yang tidak ada bedanya dari sebelum ini, Acha diserang rasa overthinking.

Hitam Putih Dunia PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang