30. Pengangguran Banyak Pikiran

1.9K 390 80
                                    

"Sayang sekali rumahnya sudah terjual."

"Yang mana?"

"Paling ujung."

Acha melongok memperhatikan rumah yang Faisal maksud. Rumah yang rencananya akan Faisal usahakan untuk tempat tinggal pribadinya bersama Acha.

Malam ini, setelah menjemput Acha ngaji malam di pondok 1, Faisal sengaja memilih rute memutar sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai ke pondok 2—tempat tinggal mereka saat ini. Lalu di perjalanan mereka tiba-tiba Acha meminta berhenti untuk membeli martabak telor yang kebetulan sekali mangkal di dekat rumah yang ingin Faisal beli.

"Kenapa abah tidak mengizinkan Gus Isal tinggal sendiri?"

Faisal menggeleng. "Entahlah. Padahal jarak dari sini ke rumah abah juga tidak jauh. Sebenarnya Abah tidak secara langsung melarang. Tapi melihat beliau yang setengah hati, saya jadi tidak yakin."

Acha menatap lurus suaminya. Menatap wajah suaminya, membuat Acha langsung teringat kenyataan besar yang tadi pagi ia dengar dari Nimas. Bahkan saking syoknya, hingga malam ini Acha tidak sanggup berbicara apa-apa. Masih belum bisa percaya seratus persen.

Gus Faisal anak kandung abah Khalid.

Kalimat itu terus saja berulang-ulang di kepalanya. Ingin percaya, tapi susah. Tidak percaya, tapi cerita Nimas sangat meyakinkan.

"Kenapa Gus Isal begitu sangat menghargai abah? Maksudku, sekalipun Gus Isal tetap nekat pindah pun aku rasa tidak apa-apa."

Faisal tersenyum tipis. Istrinya sedang berubah menjadi wartawan sehingga ia harus menjawab dengan pas.

"Rasa terima kasih saya, Cha. Abah dan umi yang merawat saya sejak kecil. Saya merasa disayangi seperti anak kandung mereka sendiri hingga saya bisa seperti sekarang. Saya hanya berusaha balas budi dengan terus menjaga dan membuat mereka senang. Karena mereka orang tua saya sekalipun bukan kandung, maka saya juga mementingkan ridha mereka."

Acha menelan ludah dengan susah payah. Ia menahan diri untuk tidak menghambur ke pelukan suaminya saat ini juga. Tiba-tiba saja dia merasa sangat kasihan dengan suaminya itu dan ingin memeluknya erat. Jalan takdirnya terlalu dramastis.

"Kenapa jadi kamu yang ingin menangis?" Faisal terkekeh melihat mata istrinya berkaca-kaca. Sementara itu Acha gelagapan karena sikapnya terbaca oleh Faisal.

"Ikut terharu. Gus Isal sudah melalui banyak hal sulit. Aku juga jadi kangen mama sama papa, pengin pulang ke sana."

Untung ia bisa cepat mendapat jawaban tepat. Tidak sepenuhnya jawaban itu bohong karena Acha memang ingin menemui papa mamanya, ingin mengadu tentang masalah ini. Rasanya ia tidak kuat menahan kenyataan ini sendirian. Jika di sini, dia bingung harus berbagi pada siapa. Pada Faisal, itu belum mungkin. Bagaimanapun Acha harus mencari cara yang paling baik untuk menyampaikan ini. Atau haruskah ia pendam saja kenyataan ini?

"Besok setelah kita dari Bali, kita pulang ke sana."

Sekarang baru hari Kamis. Berangkat ke Bali masih kamis depan. Lalu mereka pulang dari Bali hari Sabtu. Acha tidak yakin bisa menahan selama itu.

Pesanan martabak mereka sudah selesai lantas keduanya kembali duduk di atas motor. Faisal memacu kendaraan matic nya pelan-pelan sambil menikmatinya udara malam.

Tiba-tiba ia merasakan Acha memeluknya sambil menyandarkan kepala di punggungnya. Entah hanya perasaannya saja, ataukah memang benar Acha sedang diliputi keresahan. Tidak jelas apa, tapi Faisal bisa merasakan bahwa istrinya itu sedang dalam keadaan tidak tenang.

"Mbak Khansa kenapa betah sekali di sini sih, Gus?"

Baru saja mereka masuk kamar dan Acha melontarkan pertanyaan itu tanpa basa-basi. Sewaktu mereka datang, Khansa dan yang lain berkumpul di ruang tengah.

Hitam Putih Dunia PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang