Selama ini Acha sering menghalukan tentang Faisal. Tapi tidak pernah sedikitpun muncul bayangan tentang peristiwa malam ini. Bahwa dia akan duduk di kamar mertuanya bersama anak-anak yang lain dengan suasana tegang dan penuh amarah.
Apalagi jika bukan mengenai kenyataan Faisal adalah anak kandung abah Khalid. Namun sayangnya, anak yang menjadi topik utama masalah ini malah tidak ada.
Sore tadi Acha menunggu lama di depan kamar mandi. Hampir satu jam suaminya baru keluat dari sana. Lalu setelahnya, Faisal tetap pergi menghadiri acara reuni pondoknya, tapi sebenarnya Acha tak yakin suaminya tetap ke sana. Meski nampak diam dan tenang tapi Acha bisa melihat ekspresi kacau yang coba disembunyikan.
Acha tak tahu harus bersikap seperti apa. Takut itu jelas, tapi dia tidak berani melarang Faisal pergi. Tak juga berani keluar kamar karena ia yakin sore tadi prahara tentang status Faisal dan abah sudah dimulai. Lalu, baru malam ini sekitar pukul sepuluh dirinya dipanggil oleh Nada, diajak ke kamar abah dan umi.
Selama kurang lebih dua jam duduk di kamar itu dengan perasaan takut dan bersalah, Acha hanya menjadi pendengar ketika Ina meluapkan rasa kecewanya. Selama dua jam itu pula abah dan Umi tak banyak bicara, seolah memang memberi kesempatan pada anak-anaknya untuk mengungkapkan semua rasa marah dan kecewa.
"Isal pulang sepertinya,"
Ahmad—suami Nada menyela dan mereka semua kompak memberi perhatian karena memang sejak tadi, Faisal lah yang mereka tunggu.
Faisal masuk ke kamar itu dalam diam setelah diajak oleh Ahmad. Pria itu mengambil tempat di sisi iparnya.
"Isal anak Abah dengan siapa?" tanya Ina, entah sudah berapa kali karena abahnya tak kunjung menjawab.
Khalid hanya terus menatap putranya yang sama sekali tidak berniat menatapnya balik. Dia tahu, mungkin hal ini akan terjadi. Satu yang menjadi harapannya, semoga Faisal tidak pergi meninggalkannya karena kecewa.
"Namanya Nimas," ucap Khalid.
Begitu mendengar nama Nimas, Acha langsung memejamkan mata. Bahwa apa yang ia dengar selama ini ternyata benar. Sebelum ada pengakuan dari abah sendiri, Acha masih berharap bahwa semuanya salah.
"Maafkan Abah, karena dulu mengkhianati umi dengan menikah secara sirri di belakang umi dengan wanita itu."
Ina menangis, pun dengan yang lain yang juga merasa kecewa. Namun yang paling membuat Acha cemas adalah Faisal. Suaminya itu benar-benar tidak bereaksi apa-apa.
"Tapi Umi masih menerima Abah dengan segala kesalahan Abah. Dan kenapa kenyataan ini tidak pernah dikatakan pada kalian, karena itu adalah aib. Kami sepakat mengubur dalam aib itu, demi nama baik pesantren. Biar saja semua orang tau bahwa Faisal adalah anak angkat." sambung Khalid.
"Abah menyelamatkan nama baik pesantren, tapi Abah membuat kami kecewa." sahut Nada.
"Abah paham tidak?" Ina kembali berbicara. "Masalah Abah dan Umi sepakat saling memaafkan, itu urusan Abah dan Umi. Tapi yang membuat Ina marah adalah kenapa harus dirahasiakan pada kami? Abah dan Umi pikir kami akan menyebarkan aib itu? Abah dan Umi membiarkan kami menyimpan rasa iri bertahun-tahun pada Faisal karena kami kira Faisal hanyalah orang lain yang dibawa masuk ke sini tapi mendapat perhatian lebih banyak dari abah. Abah dan Umi membiarkan kami berspekulasi sendiri dengan perasaan itu. Kami berusaha menerima Faisal, menyayangi dia seperti ke yang lain meski tetap ada rasa iri dan tidak terima karena kami terus menganggap Isal adalah orang lain."
Ina mengusap air matanya. "Bukan hanya sehari dua hari, Bah, tapi dua puluh tahun lebih kami harus melawan gejolak itu. Antara iri dan menerima Faisal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hitam Putih Dunia Pesantren
RomanceIni tentang seorang gadis bernama Achadiya Divyan AlMalik dan dunianya di pesantren yang tidak selalu putih bersinar. Di manapun tempatnya pasti selalu akan ada dua sisi, hitam dan putih. Pun dengan dunia pesantren yang dikenal dengan surganya para...