18. Acara Pribadi

2.3K 381 109
                                    

"Kalau dugaan kuat Pakde ya dia diganggu makhluk ghaib ketika di kamar mandi, karena waktu berpapasan itu wajahnya terlihat tegang dan panik."

Faisal mendengarkan jawaban Husein dengan seksama atas pertanyaannya tentang kejadian apa yang Acha alami beberapa hari yang lalu.

Jika itu hal biasa saja, mungkin Faisal tidak akan terlalu memikirkannya. Namun karena dalam tiga hari ini Acha terlihat belum baik-baik saja, Faisal jadi ingin tahu kejadian sebenarnya.

Sejak Acha mulai menjalani kegiatan KKN tiga hari lalu, kemarin Faisal mampir seusai kerja. Sekedar membawakan makanan untuk istrinya sekaligus untuk melihat keadaannya. Dan istrinya itu masih terlihat banyak pikiran. Mungkin memang sedang memikirkan kegiatan-kegiatan KKN nya. Namun perasaan Faisal tetap merasa ada hal lain yang sedang Acha pikirkan.

"Kenapa memangnya, Sal?" Sanah ikut bertanya.

"Tidak apa-apa, Bude. Hanya kepikiran saja. Acha tidak banyak omong seperti biasanya."

Sanah terkekeh sambil memukul pelan lengan keponakannya itu. "Kamu itu lho. Sekarang Acha kenapa sedikit aja langsung kepikiran. Dulu, Bude sampai berbusa-busa cerita tentang Acha, kamu diam saja. Bude seperti sedang bicara dengan patung."

"Sekarang dia tanggung jawab Faisal, Bude."

Jika Acha dengar sendiri, sudah pasti dia akan merasa terbang. Namun karena dia sedang tidak ada di sini, Sanah yang mewakilinya untuk senyum-senyum sendiri. Wanita kembali menepuk lengan Faisal, ikut bahagia karena akhirnya melihat Faisal bisa punya keberanian menggapai bahagianya sendiri.

Sanah dan suaminya juga menjadi saksi bagaimana Faisal diambil dari panti asuhan. Menjadi saksi bagaimana anak itu tumbuh. Mereka paham semua yang terjadi, termasuk bagaimana keadaan keluarga Khalid dan Lihah yang sering terjadi gesekan. Dan mereka juga melihat sendiri bagaimana tawaduknya seorang Faisal, yang tidak pernah membantah jika terjadi gesekan antara dia dan kakak-kakaknya. Betapa Faisal juga terlihat ikhlas merawat abahnya.

"Jadi beli rumah yang kemarin, Sal?" Husein mengalihkan ke topik lain.

"Sebenarnya tinggal menunggu persetujuan Abah,"

"Lalu abahmu bagaimana?" sahut Sanah.

Faisal terdiam. Ia teringat bagaimana murungnya wajah sang abah ketika dirinya mengutarakan niat membeli rumah meskipun abahnya mengatakan setuju. Padahal rumah itu hanya berjarak 500 meter dari komplek pesantren.

"Abah sepertinya keberatan," jawab Faisal.

Husein memahami keduanya. Ia sangat paham jika Faisal bersikeras untuk tinggal sendiri bersama istrinya. Meskipun mereka semua sudah seperti keluarga kandung, tapi tetap saja di hati kecil Faisal merasa bahwa akan lebih nyaman tinggal sendiri. Istrinya tanggung jawabnya, sementara Faisal menyadari, di keluarga itu dia hanya seorang anak angkat.

Di lain sisi, Husein juga paham bagaimana perasaan iparnya. Selama ini Faisal yang selalu merawat Khalid dengan baik. Anak itu juga yang diharapkan Khalid bisa menjadi bagian dari para pengasuh pesantren bersama saudara yang lain.

"Tapi apa tidak apa-apa, jika begini terus, Sal?"

"Maksudnya, Bude?"

"Ya kalian itu. Sudah menikah, tapi kamu tega membiarkan Acha tetap tinggal di sini. Kalau lama-lama, tidak baik juga lho, Sal."

Ucapan Sanah membuat Faisal terdiam lagi. Mungkin memang benar apa yang dikatakan bude nya itu. Tapi Faisal punya pertimbangannya sendiri. Yang jelas, dia tidak akan membawa Acha tinggal di rumah keluarganya saat ini.

****



Acha dan teman-temannya baru saja selesai mengikuti kegiatan posyandu balita dan lansia, ketika ponselnya berdenting tanda pesan masuk dari Faisal. Pria itu mengabarkan bahwa akan datang sore nanti.

Hitam Putih Dunia PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang