2. Asalkan Faisal

1.9K 322 55
                                    

Kasak-kusuk berita rencana pernikahan Faisal ternyata menjadi salah satu topik hangat di wilayah komplek tempat Acha tinggal meski pria itu sebenarnya bukan bagian dari komplek ini melainkan komplek lain walaupun masih dalam satu rumpun pesantren keluarga.

Pesantren tempat Acha mondok terdapat dua komplek besar yang masing-masing berbeda pengasuh. Letak kompleknya juga tidak terlalu berdekatan meski masih dalam satu wilayah. Acha sendiri mondok di komplek pusat, sementara Faisal adalah gus di komplek an nadwah 2.

"Aku bayangin yang nanti jadi istrinya gus Isal itu yang spek nya mirip umi gitu nggak sih? Yang kayak elegan terus santun dan bersahaja gitu. Iya nggak?"

"Nggak juga sih, Mbak."

"Terus seperti apa?"

"Ya mana aku tahu. Kita lihat aja besok kalau udah waktunya."

Beberapa santri dengan pakaian seragam baju putih, sarung coklat dan jilbab krem sedang membicarakan Faisal seusai mereka pulang dari kegiatan madrasah sore.

Acha yang juga berpakaian sama, sambil membawa kitab di depan dadanya hanya bisa ikut mencuri dengar gadis-gadis di depannya sedang menggosipkan Faisal.

Maunya tidak terlalu peduli, toh mereka sama-sama tidak tau kabar pasti tentang Faisal akan menikah itu benar apa tidak. Tapi apa daya jika pikirannya langsung terkoneksi hanya dengan mendengar nama pria itu disebut. Apalagi tersiar kabar yang berpotensi membuatnya patah hati berat. Meski mulutnya diam, tapi hati dan pikirannya sangat ingin tahu kebenaran berita itu.

"Cha,"

Acha tersadar saat dirinya disenggol oleh salah seorang temannya. Dialah Ulfah, satu-satunya orang yang Acha betah berlama-lama dengannya meski orangnya terkenal galaknya. Ulfah juga seniornya, seangkatan dengan Mina. Saat ini menjabat sebagai Lurah komplek tempat Acha tinggal. Ulfah juga merupakan dzuriyah kyai dari daerah Kudus.

"Diam aja? Biasanya paling banyak omong di kamar,"

Mendapat teguran seperti itu membuat Acha meringis. "Lagi banyak pikiran, Mbak Ul."

Otomatis Ulfah tertawa mendengar kejujuran Acha. Acha memang terkenal ekspresif dan jarang menutupi perasaannya. Kecuali perasaannya pada Faisal, tak seorang pun di pondok ini yang tahu akan hal itu.

Begitu sampai kamar, Acha baru saja menyimpan kitabnya saat ada salah satu santri ndalem yang memanggilnya. Memberitahukan bahwa dirinya dipanggil oleh bu Nyai.

Tanpa mengganti seragam madrasahnya, Acha bergegas menuju ndalem yang terpisah jarak dua ratus meter dari kamarnya. Dan dia cukup terkejut ketika di ruang tamu itu ada kedua orangtuanya. Lalu ia menunduk untuk berjalan dengan lututnya mendekati mama dan papanya.

"Alhamdulillah mbak Acha sudah selesai matangpuluh nya, Ning." ujar umi Sanah-sang guru, pada kedua orang tua Acha.

Ning Sean, ibunda dari Acha tentu tersenyum bahagia mendengarnya meski seminggu yang lalu Acha juga sudah menyampaikan kabar itu melalui telepon pondok.

"Alhamdulillah. Mohon dibimbing terus, Bu Nyai. Anak ini masih banyak ngeyel nya." sahut Dito-ayah dari Acha.

Ucapan itu membuat mereka yang ada di ruang tamu tertawa. Meski setelahnya Sanah membantah bahwa Acha selalu bersikap baik dan patuh di sini.

Sebenarnya Acha belum tahu tujuan apa dia dipanggil masuk ke sini. Kendati begitu, dia tetap duduk anteng sambil mendengarkan kedua orang tua dan sepasang gurunya ngobrol ngalor-ngidul. Hingga tanpa sengaja obrolan mereka sampai pada pembicaraan tentang Faisal.

"Mama ada apa ke sini tiba-tiba?" bisik Acha ketika mendapat kesempatan bertanya di sela-sela obrolan itu.

"Ada keperluan penting. Nanti sowan ke tempat pak Yai Kholid juga."

Hitam Putih Dunia PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang