"Stop laughing!"
Carolina menatap tajam Bernadine yang masih tersenyum geli. Sebenarnya, Bernadine tidak tertawa. Ia hanya tersenyum, menyaksikan istrinya terus uring uringan karena perlakuan putri mereka pada Freen, gadis yang Becca cintai. Bernadine mencoba menarik Carolina duduk, namun wanita yang belum genap empat puluh tahun itu menolak. "Kamu ini, dengerin aku nggak sih?!"
Bernadine mengangguk. "Aku dengar, Olin. Seharusnya kamu sudah tau kalau Becca ak–"
"Iya aku tau, tapi kesel aja. Dia tampar Freen, Ber! Itu nggak bener!"
"Jangan sela aku saat berbicara." Balas Bernadine datar. Menarik istrinya untuk duduk di sebelahnya. "Terus sekarang, kamu mau bagaimana?" Tanya Bernadine. Maklum, Ia bukan orang Indonesia, kalau berbicara bahasa Indonesia, hasilnya akan kaku, tidak seperti Carolina yang memang lahir dan besar di Indonesia.
"Pokoknya, Becca nggak boleh ketemu sama Freen dulu!" Ucap Carolina tegas.
"Kamu tidak kasihan dengan Becca?" Balas Bernadine. "Dia tidak akan bisa jauh jauh dari Freen. Dia bisa gila, sayang."
"Aku kasihan sama Freen."
"Kali ini, aku tidak setuju." Ucap Bernadine. "Becca akan tetap tinggal disini, bersama kita. Aku sudah turuti keinginan kamu untuk kembali ke Indonesia. Sekarang, kamu turuti perintah aku."
Mata Carolina berkaca kaca. Ia menatap Istrinya nanar. "Kamu nggak tau rasanya" Katanya lirih. "Aku pernah ada di posisi Freen, kalau kamu lupa."
Carolina jadi teringat masa masa itu. Masa dimana Ia depresi berat akibat Bernadine. Sudah hampir dua puluh tahun berlalu, tetapi Carolina tidak pernah lupa, meskipun traumanya sudah hilang.
"Hey, don't cry, my Olin." Bernadine mengusap air mata Carolina lembut, lalu mencium kening Istrinya. "Okay, kita lakukan apa yang kamu mau. Kamu ingin Becca tinggal di penthouse? Fine. Dia akan tinggal disana untuk sementara waktu."
Carolina mendongak, menatap Istrinya. "Beneran boleh?"
Bernadine mengangguk. "Iya, sayang." Balasnya. Senyum Carolina terbit. Ia memeluk Istrinya erat.
"Makasih, sayang!"
***
"Freen... "
Freen terkesiap kaget saat mendengar suara pintu terbuka. Ia bernapas lega saat melihat Carolina yang muncul. Freen memperhatikan Carolina yang berjalan mendekatinya dengan membawa nampan berisi makanan.
"Ayo, makan. Mommy minta pelayan membuatkan mie tek tek tadi. Semoga kamu suka." Ucap Carolina lagi. Freen hanya diam, masih mengamati Carolina yang meletakkan nampan di meja. Wanita itu mangambil piring di atasnya, lalu duduk di sebelah Freen.
"Mommy suapin, ya?" Tanya Carolina lembut. Freen masih mengamati Carolina. Ada perasaan hangat dalam dirinya. Jujur saja, Freen sangat merindukan Ibunya. Sudah lama Ia tak melihat Ibunya.
"Freen? Kok melamun?" Tanya Carolina, khawatir. Freen buru buru menggeleng.
Lagi lagi, Carolina menyuapi Freen dengan telaten. Belum genap dua puluh empat jam ia bertemu Freen, Carolina sudah langsung sayang. Carolina melihat dirinya belasa tahun yang lalu. Depresi, ketakutan, dan tertekan.
Carolina langsung memaksa terbang ke Indonesia, saat mendapat laporan mengenai perlakuan Becca pada Freen dari Jeff. Ia tak menyangka, Becca begitu mudah main tangan pada Freen, berbeda dengan Bernadine yang tak pernah memukulnya sama sekali.
Freen terkesiap saat mendengar suara pintu. Tanpa sadar, gadis itu mencengkram ujung dress Carolina. Ia menunduk, saat melihat Bernadine yang datang. Perempuan itu begitu mirip dengan Becca. Tatapan matanya tajam dan menusuk, wajahnya yang datar, rahangnya yang tegas. Tanpa sadar, Freen kembali bergetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Obsessed With You - END
Fantasy"I wants you, Freen. I'm so obsessed with you."