Freen mengerjapkan matanya berulang kali, berusaha menyesuaikan dengan cahaya yang langsung menusuk indera penglihatannya begitu ia membuka mata. Saat kesadarannya sudah hampir terkumpul semua, Freen mengamati keadaan sekitarnya, dan menyadari bahwa dirinya masih berada di mobil.
Freen turun dari mobil karena tak menemukan Davika dimana mana. Gadis itu menatap rumah tua yang berada di tepat hadapannya. Rumah itu terbuat dari kayu yang sudah kusam. Ada bagian atapnya yang berlubang, dan pilarnya tampak sudah keropos. Freen jadi ngeri rumah itu akan rubuh secara tiba tiba.
Freen melangkah mengitari rumah tua itu, dan menemukan Davika di belakangnya. Perempuan itu sedang asyik menghisap rokoknya sembari menikmati hutan yang terpampang di hadapannya.
"Davika" Panggil Freen. Davika menoleh, lalu tersenyum. "Kau sudah bangun?"
"Kita ada dimana?" Tanya Freen.
"Ah, ini rumah keluargaku" Jawab Davika. "Rumah ini memang tampak tua di depan, tetapi dalamnya tidak. Ayo, kita masuk. Aku sudah membuat sarapan selagi menunggu kau bangun tadi."
Freen mengikuti Davika masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang. Benar saja, meski di luarnya tampak tak meyakinkan, bagian dalamnya ternyata jauh berbeda. Semua perabotan terlihat masih baru dan mengkilap. Lantainya terbuat dari marmer, temboknya di lapisi wallpaper.
"Aku membuat garlic bread dan mushroom soup. Kau suka?"
Freen mengangguk. Ia duduk berhadapan dengan Davika di meja makan.
"Aku tidak tahu kau pintar memasak." Tutur Freen.
"Tidak pintar, hanya bisa." Jawab Davika sambil tertawa ringan. "Cobalah, semoga kau menyukainya."
Freen pun memakan makanannya. Gadis itu langsung melotot begitu merasakan betapa lezatnya masakan Davika. "Kau benar benar pintar memasak."
Davika tersenyum mendengar pujian Freen. Ia ikut memakan makanannya dengan lahap.
Tak ada lagi yang berbicara, sampai akhirnya mereka selesai makan. Davika mencuci piringnya dengan cekatan, sedangkan Freen membersihkan meja.
"Kau bisa memakai kamar mandi yang ada di kamar depan. Aku sudah menyiapkan beberapa baju disana. Untuk pakaian dalam, aku menyiapkan beberapa ukuran. Ka—"
"Tidak usah di jelaskan lagi." Potong Freen. "Aku akan mandi dulu."
Davika terkekeh pelan, sembari mengamati Freen berjalan ke kamar yang terletak di depan.
***
"Jadi apa rencanamu setelah ini? Kapan aku bisa pulang?"
"Bersabarlah sedikit. Kau tahu, kan, keluar dari Amerika tanpa terdeteksi oleh keluarga Armstrong sangatlah tidak mudah." Balas Davika. Freen menghela napasnya.
"Memang kita ada dimana sekarang?"
"Yang jelas sudah tidak di Washington lagi."
Freen menatap Davika ragu. "Apakah kau yakin kita tidak akan terlacak oleh Rebecca?"
"Hm" Davika menepuk puncak kepala Freen dua kali, membuat Freen langsung menepis tangan Davika.
"Aku sudah menonaktifkan chip yang terpasang di tubuhmu. Aku juga tidak punya ponsel, begitu juga denganmu. Sejauh ini, kita aman."
Mata Freen membulat. "Chip?"
Davika mengangguk. Ia memegang tengkuknya sendiri. "Di sini. Rebecca memasangnya di tengkukmu."
Freen tak bisa berkata kata. "T-tapi, bagaima—"
"Mereka menyuntikkannya saat kau tertidur atau pingsan. Kau tidak akan menyadari apa apa. Bentuknya sangat kecil, tidak dapat dideteksi oleh mata telanjang. Chip itu tidak akan pernah bisa keluar dari tubuhmu, hanya bisa di matikan saja."
Freen menatap Davika ngeri. Perasaan marah, kesal, dan takut bercampur menjadi satu. Sungguh, keluarga Armstrong benar benar mengerikan.
"Tidak usah dipikirkan lagi, Freen. Kau sudah aman. Chip itu tidak akan bisa dinyalakan lagi."
"Aku tidak habis pikir." Kata Freen menggebu gebu. "Apa mereka memang segila ini?"
Davika tergelak. "Rebecca masih tidak ada apa apanya dibanding yang lain. Apalagi kakeknya, Bibi Aratrikha, juga Ryujin."
"Jangan jangan, kau juga sama?" Tanya Freen.
Davika menatap Freen sambil menyeringai. "Aku lebih dari gila, Freen." Ucapnya, membuat Freeb langsung beringsut menjauh. Gadis itu melempar bantal sofa ke wajah Davika saat perempuan itu tertawa keras.
"Tidak lucu!"
"Lucu sekali." Balas Davika di sela sela tawanya. "Ekpresimu benar benar menggelikan.
Freen memutar matanya malas.
***
Sudah dua minggu Freen tinggal di rumah Davika. Sejauh ini, belum ada perkembangan yang berarti. Setiap Freen bertanya, Davika tidak pernah memberikan jawaban pasti dan hanya menyuruhnya untuk bersabar. "Sebenarnya aku harus menunggu berapa lama lagi?" Tanya Freen sebal. Gadis itu bersedekap di ambang pintu kamar Davika yang sedang sibuk membersihkan kamarnya.
"Bersabarlah Freen"
"Kau terus menyuruhku bersabar, Davika." Ucap Freen. "Kau tidak pernah memberikan jawaban pasti. Setidaknya, beritahu aku rencanamu. Aku berhak tahu apa rencanamu. Sampai sekarang, kau tampak tak melakukan apapun."
Davika menghentikan kegiatannya, lau menatap Freen. "Aku bisa mengembalikanmu pada Rebecca kalau kau memang tak percaya padaku."
Freen menghela napas. Gadis itu membalikkan tubuhnya, meninggalkan Davika yang masih menatapnya.
Tanpa Freen sadari, tatapan Davika berubah. Sebuah seringaian tipis terukir di bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Obsessed With You - END
Fantasy"I wants you, Freen. I'm so obsessed with you."