Freen menatap novel tebal di hadapannya dengan pandangan kosong. Meski tatapan gadis itu mengarah ke novel, nyatanya pikiran Freen tidak berada disana sekarang. Sudah satu minggu semenjak Freen bertemu dengan perempuan aneh bernama Davika yang tiba tiba duduk di sebelahnya itu. Freen masih penasaran, siapa sebenarnya dia? Apa hubungannya dengan keluarga Armstrong? Apakah dia juga salah satu dari sepupu Becca? Kalau iya, mengapa sepertinya tidak ada satu pun dari mereka yang menyukainya?
Helaan napas lolos dari bibir Freen. Sejak dulu, ia paling tidak bisa dibuat penasaran seperti ini. Ia hanya ingin bertanya kepada Carolina, tetapi wanita itu sedang menemani Bernadine ke Shanghai sekarang. Ingin bertanya pada Becca, tetapi Freen masih cukup waras untuk berpikir dengan akal sehatnya. Bukannya mendapat jawaban, Becca pasti akan langsung memarahinya habis habisan.
Karena terlalu larut dengan pikirannya sendiri, Freen sampai tidak sadar seseorang memperhatikannya sejak tadi. Gadis itu tersentak saat sebuah lengan melingkar di lehernya.
"Mikirin apa?" Tanya Becca. Ia mengecup puncak kepala Freen, menghirup aroma bedak bayi yang menguar dari tubuh gadis itu.
"Nggak ada, orang aku lagi baca." Elak Freen.
"Bukunya kebalik, Freen." Balas Becca. "Mau coba bohong sama aku?"
Freen menelan ludahnya susah payah. Gadis itu baru menyadarinya sekarang. Buru buru Freen menutup novelnya. "Nggak."
"Mikirin apa?" Tanya Becca sekali lagi. Terdengar begitu tajam dan mengintimidasi. "Jawab jujur sebelum aku marah."
Freen mendongak, menatap Becca yang juga sedang menatapnya. Gadis itu bergidik ngeri karena tatapan Becca yang begitu menyeramkan.
"Masih nggak mau jawab, hm?"
"Aku cuma kangen Abang" Jawab Freen akhirnya. Memang benar, tetapi bukan itu alasan Freen melamun barusan.
Becca berdecak. la duduk di samping Freen, lalu menarik gadis itu mendekat, membuat jantung Freen berdegup kencang karena takut. "Berapa kali harus aku bilang kalo aku nggak suka kamu mikirin orang lain selain aku, hm?"
"Dia abang aku, Becca." Ucap Freen, berusaha menyatukan serpihan serpihan keberaniannya yang berserakan. Melawan Becca memang membutuhkan keberanian yang besar. Becca sangat temperamental dan pecemburu.
"Siapa pun itu, Freen. Selama dia bukan aku, aku tetep nggak suka." Ucap Becca tegas. la mencengkram dagu Freen lembut, bermaksud mengintimidasi Freen. "Paham?"
Freen tak langsung menjawab. Gadis itu larut dalam netra hitam legam milik Becca yang membuatnya seperti dihipnotis. Beberapa saat kemudian, barulah Freen mengangguk.
"Iya" Ucapnya pelan, tak ingin menambah masalah. Setelah mendapat jawaban yang memuaskan, Becca baru melepas cengkramannya. "Bagus. Kamu cuma milik aku, ngerti?" Freen mengangguk lagi.
***
Freen terpaksa bangun dari lelapnya saat mendengar ketukan yang cukup keras. Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya bangkit dan mencari sumber suara. Keningnya berkerut samar saat mengetahui bahwa ketukan itu berasal dari pintu balkon kamarnya.
Dengan langkah hati hati, Freen berjalan mendekati pintu. Gadis itu langsung terkejut saat membuka tirai dan mendapati perempuan asing itu berada di sana. Perempuan yang duduk di sebelahnya saat sarapan pagi di mansion Jeno waktu itu.
"Buka." Ucap perempuan itu tanpa suara. Freen menoleh ke belakang, memastikan tidak ada orang. la ragu, hingga perempuan itu kembali berucap tanpa suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Obsessed With You - END
Fantasy"I wants you, Freen. I'm so obsessed with you."