IOWY || 17

2.1K 187 8
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang, saat Freen terbangun dari tidurnya, Freen meringis saat merasakan pening yang luar biasa, la sampai memukul-mukul kepalanya pelan, saking peningnya. Pasti karena ia terlalu banyak menangis semalaman.

Becca yang baru saja keluar dari kamar mandi, langsung tersenyum saat melihat Freen sudah bangun.

"Had a good sleep?" Tanyanya. Freen langsung membuang muka, enggan menatap Becca.

"Pusing?" Tanya Becca. Entah sejak kapan, Becca sudah duduk di hadapannya. Freen menatap Becca sejenak, lalu kembali memalingkan wajah.

Satu tangan Becca terangkat, hendak mengelus wajah Freen. Namun, Freen cepat-cepat menepisnya. Anehnya, Becca sama sekali tak marah. Becca masih tersenyum simpul.

"Mau mandi dulu, atau sarapan?" Tanyanya. Freen mulai kebingungan, namun ia berusaha tak peduli. Bisa saja ini hanya tipu muslihat Becca, karena Becca tak ingin Freen pergi. "Fre-"

"Kalo kamu baik baikin aku cuma biar aku mau nerima kamu, mending nggak usah. Aku nggak akan luluh" Sela Freen ketus, tanpa menatap Becca sama sekali.

Becca terkekeh sinis. "Baik atau jahat, kamu tetep milikku. Semuanya tergantung aku. Kamu sendiri yang bilang. Apa yang aku mau, harus aku dapetin."

Freen dibuat tak bisa berkata-kata. Perempuan satu ini benar benar iblis.

"Berapa kali aku harus bilang? Yang perlu kamu lakuin cuma nurut. Kamu nggak punya pilihan lain. Kamu lupa? Nyawa semua orang di sekitar kamu, ada di tanganku."

Freen tertawa dalam hati. Semalam, mereka berdebat panjang tentang hal ini. Entah sudah berapa banyak air mata yang Freen keluarkan dan seberapa keras gadis itu meneriaki wajah Becca, Becca masih tetap pada pendiriannya untuk menikahi Freen setelah gadis itu lulus SMA nanti.

"Mandi, aku tunggu di bawah, kita sarapan. Jangan coba pancing emosiku lagi, Freen. Kamu tau aku orangnya kayak apa." Becca pergi dari kamar setelah memberi peringatan keras pada Freen.

***

"Lo tau, Namtan? Sumpah, ye, biadab betul tuh guru. Kenapa sih, gue dinistain mulu!"

Pond hanya geleng-geleng mendengar ocehan Win. Sejak tadi, laki-laki itu tak berhenti mengumpati Pak Nont, guru Matematika. Salahnya sendiri, kalau pelajaran Pak Nont, Win selalu buat masalah. Kalau tidak tidur, ya, kabur ke luar kelas. Pak Nont tidak percaya lagi.

"Terus ya, Tan, dia cuma ketawa-ketiwi cekikikan macam kuntilanak. Bukannya gue dibantuin. Emang dasar bapak sama anak sama aja!"

Pond melempar Win dengan kulit kacang. "Gue bukan anaknya!" balasnya tak terima. Lalu, Pond kembali mengupas kacang yang disediakan Austin.

"Nyenyenye." Win kembali menusuk-nusuk lengan Namtan. Sudah menjadi kebiasaannya. Sejak dulu, Win dan Ploy bak kembar siam.

Ke mana-mana, mereka selalu bersama. Namtan yang koma membuat Win bak kehilangan separuh jiwanya.

"Bangun, bangun, bangun ..." Gumam Win. "Lo nggak bosen tidur mulu? Tega lo ninggalin gue berdua sama Pond jelek?"

"Gue denger!" sahut Pond, sewot.

"Lah, denger dia" Gumam Win lagi. "Namtan... Nam- Anjir! Jarinya gerak! Pond! Namtan, Pond!"

Mendengar jeritan Win, Pond langsung melompat dari sofa, menghampiri Win. Ia ikut memperhatikan jari Namtan yang ditunjuk Win.

Benar, meskipun tak begitu jelas, tetapi jari Namtan sedikit bergerak seakan mencari keberadaan seseorang disisinya.

Freen.

I'm Obsessed With You - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang