Freen terjaga beberapa jam kemudian. Malam telah berganti pagi, cahaya rembulan telah digantikan oleh matahari.
Freen meringis pelan karena kepalanya terasa pusing. Gadis itu menggeleng, berusaha mengumpulkan serpihan kesadarannya yang masih tercecer. Barulah setelah itu, Freen menyadari dimana dirinya berada sekarang.
Rasa panik kembali melandanya saat Freen tahu bahwa dirinya sudah kembali ke kamar yang ia tinggali selama satu bulan terakhir. Freen berlari menuju pintu, berusaha untuk membukanya. Namun, nihil. Pintu itu terkunci.
"Davika! Buka pintunya!"
Freen menendang nendang pintu itu dengan membabi buta. Gadis itu beralih ke jendela, dan harus kembali menelan kekecewaan karena jendela itu sudah di tutupi dengan kayu kayu besar yang di paku begitu kuat.
Freen menarik napasnya dalam dalam, berusaha untuk tetap tenang. Sayangnya, tidak bisa. Freen benar benar panik karena tidak bisa menemukan jalan keluar.
Air mata kembali keluar dari pelupuk mata Freen. Ia tertipu oleh Davika. Perempuan itu ternyata tidak jauh berbeda—bahkan lebih parah dari Becca.
"Aku mau pergi, mau pergi..." Lirih Freen.
Tiba tiba, pintu pun terbuka. Freen langsung mundur saat melihat Davika datang dengan membawa nampan berisi makanan. Ia kembali mengunci pintunya setelah masuk, lalu memasukkan kunci itu ke dalam saku celana.
"Selamat pagi" Sapa Davika dengan senyumnya. Perempuan itu tampak seperti biasanya, menyebalkan. Tetapi, pandangan Freen pada Davika tak lagi sama.
"Bagaimana tidurmu? Nyenyak?" Tanya Davika. "Kau harus berterima kasih padaku, Freen. Kau bilang, kau tidak pernah tidur nyenyak, kan?"
Freen berdecih. Meski ketakutan, Freen berusaha untuk tak menunjukkannya di depan Davika. "Lepaskan aku, Davika. Aku sudah tak lagi membutuhkan bantuan dari seorang penipu sepertimu."
Davika meletakkan nampan di nakas dengan kasar, lalu berjalan mendekati Freen. "Kau tidak akan pernah pergi dari rumah ini, Freen."
"Kau gila!" Tuding Freen. "Aku pikir kau teman yang bisa kuandalkan!"
"Memang, begitulah rencananya." Jawab Davika sambil tersenyum. "Kalau tidak begitu, kau tidak akan ikut denganku, kan?"
Freen melipat bibirnya ke dalam, berusaha menahan tangisnya. "Lepaskan aku Davika. Aku mau pulang."
"Kau sudah pulang, sayang." Davika terus melangkah mendekati Freen. "Rumahmu di sini, bersamaku."
"Tidak!" Freen berteriak. Gadis itu berusaha untuk kabur, tetapi Davika lebih dulu menangkap tubuhnya. Freen terus meronta, kali ini ia tidak mampu lagi menahan air matanya.
"Shit!" Umpat Davika saat mendengar suara deru mobil di mana mana. Ia langsung mengeluarkan sapu tangan yang telah disiapkannya, lalu kembali membius Freen. Lagi lagi, gadis itu kehilangan kesadarannya saat berusaha melepaskan diri.
"Maafkan aku, sayang. Tapi pelarian kita akan semakin sulit jika kau tetap sadar." Bisik Davika. Ia membopong tubuh Freen menuju ke mobilnya di yang terparkir di tengah hutan. Beruntungnya, Becca dan para penjaga belum sampai kesana.
"Itu mereka!"
"Sialan!" Keluh Davika. Ia segera menyalakan mesin mobilnya, lalu langsung tancap gas meninggalkan tempat.
"Shit!" Davika mengumpat lagi saat mobilnya oleng. Perempuan itu terkekeh puas saat tak mendapati ada mobil yang mengikuti mereka. Bahkan, sampai mobilnya tiba di jalan utama pun, mobil Becca dan para penjaganya masih belum terlihat.
"Kau tidak akan bisa mengejarku, keparat sialan! Freen hanya milikku." Ujarnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Obsessed With You - END
Fantasy"I wants you, Freen. I'm so obsessed with you."