Freen meremas ujung kertas yang sedang dipegangnya. Mata gadis itu terus bergerak, membaca satu per satu kata. Di seberangnya, ada Becca tersenyum miring, dan di sofa lain, ada seorang wanita yang merupakan pengacara pribadi keluarga Armstrong di Indonesia, Engfa. Freen menggigiti jarinya, cemas. Di surat itu terdapat beberapa poin, dan tak ada satu pun yang menguntungkan Freen.
Kalau dipersingkat, berikut isi poin-poin dalam surat perjanjian itu :
1. Freen harus homeschooling, tidak boleh memiliki teman baru kecuali atas persetujuan Rebecca.
2. Freen tidak boleh bertemu dengan orang lain tanpa persetujuan Rebecca, termasuk sahabat dan keluarga.
3. Freen tidak boleh keluar rumah tanpa persetujuan dan pendampingan Rebecca, atau orang-orang utusannya.
4. Freen tidak boleh berhubungan dengan siapapun, selain Rebecca dan keluarga.
5. Freen harus menuruti semua keinginan Rebecca, termasuk ikut ke mana pun Rebecca pergi.
6. Freen akan menikah dengan Rebecca.
7. Bila Freen melanggar perjanjian, maka Rebecca berhak menghabisi keluarga dan sahabatnya.
Freen sedikit mendongak, menatap Becca. Perempuan itu masih tersenyum, begitu menyeramkan di mata Freen.
"Ini nggak masuk akal...." Lirih Freen. la menoleh ke arah Engfa, wanita paruh baya yang duduk di single sofa "Bu, saya nggak bisa ganti beberapa poin?"
"No, Sweetheart." Bukan Engfa yang menjawab, melainkan Becca. "Tanda tangan, kalau kamu mau Saint bebas."
Lagi-lagi, Freen ingin menangis. Menandatangani surat perjanjian itu, sama saja membiarkan Becca mengontrol dirinya seratus persen. Tak hanya satu dua hari, tetapi seumur hidup. Becca benar-benar licik. la pintar sekali memanfaatkan keadaan.
Sudah banyak cara Freen coba untuk lepas dari jeratan Becca, namun perempuan itu selalu berhasil membuatnya kembali, dan menjeratnya semakin erat lagi.
"You have thirty seconds, Sweetheart. Setelah itu, perjanjiannya Saint bakal tetep di penjara sampai masa hukumannya selesai, lima belas tahun lagi."
Freen menatap Becca dan Engfa bergantian. Tanpa sadar, air mata gadis itu jatuh. Lagi-lagi, Freen menangis. Gadis itu menunduk. la tiba-tiba diserang panik.
"Ten seconds."
Freen berusaha menenangkan pikirannya yang kalut luar biasa, tetapi sulit. la harus memutuskan dalam waktu kurang dari sepuluh detik. Nasib Saint berada di tangannya. Masih teringat jelas di benak Freen, bagaimana Saint dipukuli di dalam sel karena mencuri makanan. Kakaknya kelaparan. Baru satu bulan, Saint sudah berubah begitu banyak. Bagaimana kalau lima belas tahun?
"Three, two,—"
Tanpa berpikir lagi, Freen langsung mengambil bolpoin di meja, membubuhkan tanda tangan.
Jangan tanya lagi bagaimana senangnya Becca. Perempuan itu berhasil mendapatkan apa yang ia mau. Sekarang, Freen sudah seratus persen miliknya. Selamanya.
Setelahnya, Freen tak lagi mendengar apa-apa. Gadis itu sibuk menangis dalam diam, kedua tangannya meremas ujung bajunya hingga kusut. la hanya bisa menunduk, sedangkan Becca berbincang dengan Engfa.
"Saint akan bebas malem ini. Aku udah siapin apartemen buat dia, jadi kamu nggak usah khawatir. Dia juga bisa ngelanjutin kuliah. Semua jejak kriminalnya bakal dihapus." Ucap Becca—yang entah sejak kapan, sudah duduk di sebelah Freen. Kedua lengan Becca melingkar di perut Freen, memeluknya posesif. Tak lupa, Becca mengecup kepala Freen yang masih menangis.
"Jangan nangis, Sayang." Becca mengangkat dagu Freen secara paksa, hingga ia bisa melihat jelas betapa menyedihkannya Freen. "Kamu bakal bahagia, aku bisa jamin itu. Tapi satu hal yang harus kamu lakukan, yaitu nurut sama aku. Paham?"
Freen tak punya pilihan lain selain mengangguk pasrah.
***
Namtan terus menggulir layar ponselnya, memperhatikan satu per satu foto album khusus yang ia beri nama Namtan's. Di sana, penuh dengan foto Freen dengan berbagai gaya dan ekspresi. Beberapa foto Namtan ambil tanpa diketahui Freen.
Sudah tiga hari sejak Namtan keluar dari rumah sakit, tetapi Freen masih belum juga menampakkan diri. Semakin hari, Namtan semakin khawatir. Freen tak pernah seperti ini. Ke mana pun gadis itu pergi, ia selalu mengabari Namtan tanpa diminta. Setidaknya, Freeen akan mengunggah video atau foto di Instagram. Akhir-akhir ini, Namtan juga selalu mendapat mimpi yang sama.
Dalam mimpinya, Freen terus berteriak, menangis, dan memanggil namanya terus menerus. Saat ia hendak meraih Freen, seorang perempuan yang tak jelas wajahnya, langsung menarik gadis itu pergi, hingga mereka berdua menghilang dari pandangan Namtan. la ingin sekali mengejar, namun kaki Namtan tak sedikit pun bisa digerakan.
"Namtan..."
Namtan langsung menutup ponselnya saat mendengar suara Austin. "Bunda? Baru masuk? Kok Namtan nggak denger?"
Austin menatap tak suka ponsel yang ada digenggaman Namtan. Saking seriusnya Namtan tidak menyadari.
"Mau sampai kapan kamu nungguin dia, sih?" tanyanya sewot. "Cewek kayak gitu masih aja kamu harapin."
Namtan menghela napas. "Bunda, Freen masih pacar Namtan"
"Dia ninggalin kamu, Namtan!"
Namtan menggeleng. "Freen nggak akan ninggalin Namtan, Bunda. Namtan tau Freen orangnya kayak apa. Namtan malah khawatir Freen kenapa napa. Belakangan ini, Namtan ngerasa nggak tenang. Namtan boleh cari Freen ya, Bun?"
Austin memang tak memperbolehkan Namtan mencari Freen, la sudah terlanjur benci pada gadis itu. Padahal, dulu Austin yang paling senang saat bertemu Freen. Bundanya berubah drastis. Austin mendengkus. "Nggak! Awas aja. Kalo sampe Bunda tau kamu masih berusaha cari dia, Bunda bakal marah besar sama kamu!"
"Bunda, sini duduk, deh" Ajak Namtan. la menarik Austin duduk di tempat tidur. Untungnya, Asutin tak menolak.
"Namtan nggak bermaksud melawan Bunda. Tapi, perasaan Namtan bener bener nggak enak, Bun. Namtan selalu merasa nggak tenang. Namtan harus cari Freen, Bunda. Tolong ngertiin Namtan, ya?"
Mendapat tatapan lembut penuh permohonan dari putri sulungnya, Austin mulai luluh, Namtan memang sangat pintar mengambil hati Austin, Tapi, siapa yang tidak luluh pada Namtan yang begitu manis dan lembut?
"Emangnya kamu mau cari di mana? Win sama Pond juga nyari dia ke sekolahnya nggak ketemu, kan?"
Namtan bungkam. Jujur saja, ia juga tak tahu harus mencari Freen di mana. Win dan Pond sudah pernah pergi ke SMA Garuda, namun tak ada satupun yang mengenal Freen.
"Biar Namtan coba cari tahu dulu, Bun." Ucap Namtan akhirnya.
Lama Austin terdiam, sebelum wanita itu mengangguk sekilas meskipun wajahnya masih menampilkan ekspresi tak suka. "Bunda kasih kamu satu minggu. Kalo kamu nggak berhasil nemuin Freen, kamu harus lupain dia! Banyak anak temen temen arisan Bunda yang cantik cantik, bahkan lebih dari Freen!"
Namtan hanya diam, membiarkan Austin berjalan keluar dari kamarnya. Sebuah senyum terulas di bibir Namtan. Perempuan itu langsung mengambil ponselnya. la tak boleh membuang waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Obsessed With You - END
Fantasy"I wants you, Freen. I'm so obsessed with you."