Sama seperti malam malam sebelumnya, Freen tidak bisa tidur nyenyak.
Sejak keluar dari rumah Becca, Freen tak pernah bisa memejamkan matanya dengan tenang. Gadis itu selalu merasa was was, takut Becca berhasil menemukan mereka. Pandangan gadis itu selalu tertuju pada pintu dan jendela, telinganya selalu peka terhadap bunyi sekecil apapun.
Setelah lima belas menit mencoba, Freen akhirnya menyerah. Gadis itu bangkit dari tidurnya, lalu berjalan keluar dari kamar untuk mengambil minum. Tiba tiba, tenggorokannya terasa kering. Bertepatan dengan keluarnya Freen, gadis itu bertemu dengan Davika yang baru saja muncul dari pintu yang terhubung dengan ruang bawah tanah. Menurut penuturan Davika, ruangan itu tidak boleh Freen masuki karena berisi peninggalan keluarganya. Freen pun menghargai keputusan Davika.
"Kau belum tidur?" Tanya Davika. Freen menggelengkan kepalanya.
"Apa yang kau butuhkan?"
"Air" Jawab Freen. Ia melangkah menuju dapur, diikuti oleh Davika. Perempuan itu memperhatikan Freen menghabiskan air putih dalam gelasnya.
"Apa yang kau lakukan malam malam disana?" Tanya Freen penasaran. Gadis itu menatap pintu hitam tempat Davika keluar tadi.
"Mengenang keluargaku." Jawabnya.
"Malam malam begini?"
"Hm. Aku selalu melakukannya di malam hari. Aku merasa jauh lebih tenang."
Freen mengangguk paham. "Kau pasti merindukan mereka ya?"
"Bisa dibilang begitu" Jawab Davika. "Tidak ingin melanjutkan tidurmu?"
Freen menggeleng. "Aku tidak bisa tidur."
"Sepertinya setiap malam kau tidak bisa tidur."
Freen mengerutkan keningnya. "Bagaimana kau tahu?"
"Hanya menebak." Balas Davika sembari mengedikkan bahunya. "Mau ke luar? Malam malam begini, ada banyak sekali bintang di luar sana."
"Boleh."
Freen mengikuti langkah Davika keluar dari rumah. Benar saja, di malam hari seperti ini, bintang bertaburan dimana mana. Freen tak pernah melihat bintang sebanyak ini di Jakarta maupun di Washington.
Davika menarik Freen untuk duduk disebelahnya. Gadis itu masih tak melepaskan pandangannya dari bintang bintang yang bertebaran menghiasi langit malam.
Setelah lama keheningan menguasai, suara Davika tiba tiba terdengar.
"Freen."
"Hm?" Freen menoleh.
"Bagaimana kalau aku memintamu untuk tetap di sisiku?"
Freen mengerutkan keningnya. "Maksudmu? Tentu saja tidak bisa. Aku akan kembali pada keluargaku, kan?"
Raut wajah Davika berubah. "Kau tidak ingin bersamaku?"
"Apa maksudmu?" Tanya Freen. Gadis itu masih kebingungan.
"Freen, aku ingin kau bersamaku, selamanya." Davika berusaha meraih tangan Freen, namun gadis itu langsung menepisnya. Freen langsung bangkit guna menjaga jarak dari Davika.
"Jangan melantur, Davika." Ucapnya, berusaha menekan rasa takutnya sendiri. Sekarang, perasaan Freen benar benar tidak enak.
"Freen" Panggil Davika. Ekspresi wajahnya mengeras selama beberapa detik, lalu berubah memelas. Freen cukup terkejut dengan perubahan ekspresi Davika yang begitu cepat. "Tidak usah takut begitu. Aku tidak akan menyakitimu. Aku menginginkanmu."
Freen menggelengkan kepalanya. Gadis itu langsung berlari masuk ke dalam rumah, berusaha menghindari Davika. Ia semakin panik saat mendengar langkah kaki milik perempuan itu.
Freen kalang kabut. Gadis itu berlari tak tentu arah.
"Freen" Panggil Davika tenang. "Jangan lari."
Freen menggelengkan kepalanya. Air mata gadis itu sudah mengalir. Tanpa pikir dua kaki, Freen langsung membuka pintu ruang bawah tanah yang selama ini tak pernah boleh ia masuk.
"Fre—"
Freen mengunci pintunya dengan cepat sebelum Davika sempat masuk. Gadis itu menyandarkan punggungnya pada pintu. Matanya terpejam, napasnya terengah engah. Jantung Freen berdetak ratusan kali lebih cepat dan keras dari biasanya, hingga darahnya terasa surut.
Tubuh Freen luruh ke lantai. Air mata gadis itu mulai mengalir deras. Tubuhnya gemetar, pikirannya kalut. Freen benar benar ketakutan sekarang. Lama Freen menangis sambil memeluk kedua lututnya. Hingga tiba tiba, ia mendengar seseorang mencoba untuk mendobrak pintu belakangnya.
Freen langsung berdiri dan menjauhi pintu. Gadis itu menoleh ke sekitar. Di depan sana hanya ada lorong yang gelap gulita. Tak ada tempat bersembunyi karena tak ada benda di sekitarnya.
Tiba tiba, pintu lepas begitu saja, menimbulkan bunyi berdentum yang sangat keras. Freen langsung berlari saat melihat Davika menyeringai ke arahnya.
"Kau tidak akan bisa lari, Freen." Ucap Davika. "Kau akan tetap disini bersamaku."
"Tidak! Dasar bajingan!" Maki Freen. Gadis itu berlari menerobos lorong gelap di hadapannya, menuruni tangga dengan bantuan obor obor kecil yang terpajang di tembok sepanjang lorong. Freen terus berlari dan berlari, hingga gadis itu tiba tiba mematung begitu ia sudah sampai di ujung lorong.
Tubuh Freen semakin lemas saat melihat pemandangan di hadapannya. Ruangan berukuran 3x4 meter dengan tembok yang di cat merah bata dan lantai kayu yang sudah kusam.
Namun, bukan itu yang membuat Freen lemas, melainkan apa yang terpajang di setiap sudut ruangan itu. Keempat sisi tembok merah itu di penuhi oleh foto gadis berambut kecoklatan dan mata coklat yang terlihat jelas, dengan berbagai ekspresi.
Gadis itu adalah... Dirinya.
Tak hanya itu saja, Freen bisa melihat sebuah layar komputer besar yang menampilkan kamera CCTV. Freen tahu tempat apa saja itu. Davika memasang CCTV di kamarnya yang ada di mansion Becca, juga kamarnya yang berada di rumah ini.
"Seharusnya kau tidak melihat ini, Freen." Bisik Davika yang entah sejak kapan sudah berada tepat di belakang Freen. "Kau tidak seharusnya berada di sini."
"Brengsek!" Desis Freen. Belum sempat gadis itu membalikkan badannya, mulut dan hidungnya lebih dulu di bekap oleh sebuah sapu tangan yang telah diberi chloroform.
Freen berusaha mempertahankan kesadarannya. Ia terus meronta berusaha melepaskan diri dari cengkraman Davika. Sayangnya, obat bius itu bekerja terlalu cepat, hingga akhirnya, Freen pun kehilangan kesadarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Obsessed With You - END
Fantasy"I wants you, Freen. I'm so obsessed with you."