With---9: Abit, Tunggu!

57 16 131
                                    

Di dalam ruang BK, Abit telah duduk bersebelahan dengan Krisna. Namun, Krisna merasa geram ketika Bu Bira hanya menghukum Abit dengan skors seminggu sebelum olimpiade.

“Kenapa Abit hanya dihukum seminggu, Bu? Abit salah besar hari ini,” bantah Krisna.

“Abit ikut olimpiade dan waktunya tinggal satu minggu lagi. Itu nggak cukup buat mencari penggantinya Abit,” sanggah Bu Bira.

“Ini nggak adil bagi Angel dan Nadinia, Bu,” balas Krisna. “Mereka korban!”

Memandang Krisna mulai emosi lagi. Angel mendekatinya dengan wolker yang sudah dibawakan adik kelas tadi ke ruang BK, dia menepuk pundak Krisna lembut.

“Sudah, ya, Kris. Kita nggak apa, hormati saja keputusan Bu Bira,” ucap Angel, disusul anggukan oleh Nadinia yang berdiri di belakang kursi Krisna duduk bersama Rayyan. Abit yang menyaksikan hal itu menghela napas lalu memijat pelipisnya keras, kemudian dia berdeham.

“Ini sudah belum, ya? Aku keluar dahulu. Assalamua’laikum,” ucap Abit lantas di keluar ruang BK begitu saja.

Setelah Abit benar-benar keluar ruangan, Angel menyusulnya. Melihat hal itu Rayyan langsung membuntuti dari kejahuan. Dia tak memedulikan Nadinia yang masih menenangkan Krisna yang sedang berdebat dengan Bu Bira.

*****

Angel berhenti tepat di depan ruang guru. Dia berdiri menggunakan wolkernya. “Abit, tunggu! Aku ingin bicara sama kamu. Berhenti!” panggil Angel.

Sang empunya nama pun menghentikan langkahnya. Meski jarak mereka sudah jauh, Abit langsung menoleh begitu saja. “Ada apa, Ngel?” jawab Abit angkuh.

“Apa yang kamu inginkan dariku?” tanya Angel.

Pertanyaan Angel membuat Abit memalingkan badan, lantas berjalan menghampiri Angel. Kini, mereka saling berhadapan.

“Kalau aku jawab aku ingin kamu? Bagaimana?” gumam Abit menatap mata Angel lekat.

Jawaban Abit terdengar pasaran bagi Angel. Semua cowok banyak mengucapkan hal itu kepadanya, dia pun hanya menghela napas.

“Yang lain?” tanya Angel.

“Mengusik hidupmu meski kamu banyak pelindungnya,” sahut Abit.

“Kalau begitu lakukan jika bersamaku saja. Jangan melibatkan mereka!” tegas Angel.

Senyuman sinis Abit adalah respons atas ucapan Angel lalu dia menyentuh pipi kanan Angel.

“Mereka yang memulainya, bukan aku. Mereka melindungi kamu dan aku benci akan hal itu,” sanggah Abit masih dengan posisi yang sama.

Perkataan tersebut membuat tangan kanan Angel mengenggam tangan Abit yang ada di pipinya. Dia pun memejamkan mata lalu membukanya kembali lantas tersenyum menatap Abit lembut.

Deg!

Jantung Abit berdebar ditatap Angel seperti itu. Debaran jantungnya bukan perihal jatuh cinta. Namun, kelembutan sorot kedua mata itu persis adik kembarnya. Abit tidak sanggup; dia harus melepasnya segera.

“Abit, aku capek,” gumam Angel. Air matanya sudah luluh begitu saja, tatapan tadi telah hilang dari netranya.

“Angel, aku mohon jangan seperti ini!” bentak Abit. Gulatan batin mulai mengusiknya antara emosi dan iba.

Ketika adiknya sudah dibentak, Rayyan ingin langsung menghampiri. Namun, dia ditahan oleh Bu Kenanga. Dia pun heran akan hal itu.

“Kenapa, Bu?” tanya Rayyan tak habis pikir. “Adik saya dibentak. Saya nggak terima!”

Usai berkata demikian, Rayyan nekat ingin menhampiri Angel lagi. Namun, tangan kanannya dicekal kuat oleh Bu Kenanga.

“Sabar, Ray. Dengarkan saya dahulu!” tegas Bu Kenanga.

Akhirnya, keegoisan Rayyan mengalah. Dia menurut pada Bu Kenanga dan menghela napas untuk meredam emosinya. “Angel depresi tanpa dia sadari,” ucap Bu Kenanga.

“Sejak kapan, Bu?” tanya Rayyan kaget.

“Saya nggak tahu sejak kapan. Yang jelas, adikmu banyak luka di hatinya dan butuh psikiater. Biarlah dia meluapkan semua beban dalam hatinya kepada Abit. Kita di sini saja menyaksikan,” jawab Bu Kenanga.

“Kalau adik saya butuh psikiater, Bu, kapan dia akan bertemu dengan psikiater? Saya takut Abit melukai Angel, Bu,” ucap Rayyan.

“Nanti habis olimpiade, saya akan mempertemukan Angel dengan dokter psikiaternya. Abit orang baik. Dia tidak akan melukai Angel. Ada tujuan di balik itu semua kenapa dia mem-bully,” kata Bu Kenanga.

Rayyan hanya mengangguk tanpa mempertanyakan perkataan Bu Kenanga, setuju dengan saran beliau. Rayyan mengawasi Angel dan Abit dari kejauhan bersama Bu Kenanga. Rayyan berusaha menenangkan diri meskipun dia sangat gelisah.

*****

Ketika Waktu BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang