Saat membaca, Angel sesekali menutup mulutnya tak percaya. Rencana apa ini? Membuka lahan dengan cara menggusur Sekolah Rimbun Jaya? Selesai membacanya dengan saksama, Angel menatap Abit lekat.
“Jangan bilang kamu dukung rencana ini, Bit?” tanya Angel.
“Aku butuh dukunganmu malah,” jawab Abit santai.
“Maksudmu apa? Aku nggak mau Abit!” bantah Angel to the point.
“Bisa nggak jangan protes dahulu sebelum tahu alasannya? Yang aku khawatirkan itu kamu,” balas Abit.
“Oke. Aku dengarkan dulu alasannya,” ujar Angel. Dia menurunkan egonya sejenak.
“Bisnis ini ilegal. Menteri pendidikan dan pemerintah tidak tahu. Dukung aku untuk membocorkan ini semua kepada mereka,” jelas Abit.
“Dengan karya esai,” gumam Angel.
“Iya. Karyamu yang akan memberitahu mereka. Kamu paham ‘kan, tidakan apa yang harus kamu ambil dengan sumber dari semua data yang ada di map ini? Jika kamu tidak setuju sama rencana papaku?” kata Abit.
Angel menghela napas atas jawaban perkataan Abit tadi. “Bisnis ini … aku akui, sih, Bit. Ada baiknya juga walaupun buruknya lebih besar.”
“Cewek cerdas memang beda, ya? Selalu mikir panjang,” ujar Abit.
“Ini termasuk korupsi juga, Bit, meski alasannya baik.”
“Iya. Membuka lapangan pekerjaan baru, tapi caranya yang salah.”
Angel hanya mengiakan lalu membaca map itu lagi lebih teliti dari yang tadi. Saat dia sampai di bagian pendanaan. Angel terkejut. Uang dua puluh satu milyar adalah untuk biaya awal penggusuran Sekolah Rimbun Jaya.
“Ini dana dari mana, Bit? Jangan bilang mau dari negara?” tanya Angel khawatir.
Kekhawatiran Angel membuat Abit terkekeh. “Memang. Dana fiktif nanti.”
“Dana untuk sekolah, tapi sekolahnya nggak ada?” tebak Angel.
“Tepat sekali. Negara bakal rugi, pendidikan akan terbengkalai. Rimbun Jaya sekolah elit meski di tengah desa. Dana dari negara nggak akan main-main, dong.”
“Ini gila, Bit! Kita rugi, negara rugi bahkan bisnis papamu juga akan rugi nanti.”
“Iya. Kamu sanggup telibat di rencana ini meski nyawamu taruhannya, Ngel?” tanya Abit memastikan.
“Kenapa harus nyawaku?” tanya Angel balik.
Pertanyaan itu membuat Abit terkekeh. “Sudahlah. Nanti kamu juga akan tahu. Map ini adalah salinan, Ngel. Yang asli dipegang Papa. Tolong jaga baik-baik, ya. Pikirkan lagi ini semua matang-matang. Kalau perlu diskusi dulu dengan orang yang kamu percaya. Aku tunggu karya esaimu untuk menyelamatkan Rimbun Jaya.”
Deg!
Ucapan Abit membuat jantung Angel berdegub kencang. Namun, dia harus tetap tegas untuk mengambil keputusan ini, sebab keselamatan Rimbun Jaya ada di tangannya. Potensinya dalam merangkai kata sangat dibutuhkan.
“Oke. Aku akan putuskan nanti.”
“Jangan lama-lama. Papa tipe orang yang gerak cepat dalam hal apa pun apalagi soal bisnis,” kata Abit.
Angel hanya mengangguk.
“Apa pun yang terjadi nanti, aku akan melindungimu, Angelika Mentari,” bisik Abit tepat di telinga kanan Angel. Tingkah itu membuat sang empunya langsung menoleh. Mata keduanya pun saling beradu pandang. Hidung mereka yang mancung hampir menyatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Waktu Bersamamu
General Fiction"Aku paham. Namun, kamu butuh pelukan itu. Kenapa menghidariku setelah pulang dari luar kota sampai sekarang, Ngel?" tanya Brama. Deg! Mendengar pertanyaan Brama, Angel memejamkan mata dia merasakan guyuran hujan yang semakin deras jatuh ke kepala d...