Ternyata Brama membawa Angel ke kebun teh tak jauh dari kebun bunga itu. Sekarang Angel menatap hamparan pohon teh yang menjulang tinggi di depannya. Dia waswas sebenarnya karena Brama bilang dirinya akan mengajak Angel naik ke sana dengan motor. Mata Angel pun masih memandang sembari menenangkan perasaannya yang ketar-ketir.
“Kamu ragu denganku, Ly?” tanya Brama usai membayar tiket masuk.
Suara Brama membuat Angel sadar dari ketertegunannya lalu dia menoleh.
“Nggak yakin, Bram,” jawab Angel.
“Yakin. Ayo! Aku akan bawa kamu ke sana, tuh! Yang ada ayunannya,” ucap Brama menunjuk lalu naik ke motornya, sedangkan Angel sendiri masih duduk di atas motor. Dia tidak turun meski tadi Brama turun sebentar untuk membeli tiket. Angel sengaja tidak mau turun, soalnya dia tidak ingin merepotkan Brama untuk membantu naik ke atas motor lagi.
“Jujur, Bram. Aku takut,” kata Angel ragu-ragu.
“Percaya sama aku, Ly. Kamu kalau sama aku aman. Nanti saat naik, nikmatilah pemandangannya. Aku jamin takutmu akan hilang,” pinta Brama setelah melingkarkan kedua tangan Angel di pinggangnya.
Akhirnya, motor itu melaju cepat melalui jalan menanjak menuju area kebun teh paling atas. Benar kata Brama; di saat Angel bisa menikmati perjalanan tersebut, rasa takut Angel berangsur hilang. Angel pun sesekali tertawa dengan perasaan takjub. Sungguh pemandangannya sangat indah. Brama yang sedang mengemudi ikut tertawa kecil mendengar tawa Angel yang lepas itu.
“Ly, ingat! Jangan dilepaskan tangannya. Kamu itu suka kesederhanaan, apalagi pemandangan alam seperti ini,” ucap Brama.
“Dari mana kamu tahu, Bram?” tanya Angel penasaran. Mengapa Brama sudah sangat mengenalnya? Padahal dia tidak pernah menceritakannya.
“Karena kamu istimewa bagiku, Ly,” jawab Brama, dia pun tetap fokus mengemudi.
Jawaban Brama membuat Angel menghela napas pelan. Jujur, dia bingung dengan sikap Brama. Hatinya bimbang antara sudah percaya atau tidak. Namun, di sisi lain dia juga harus memikirkan perasaan Brama nanti jika dia tahu Angel sangat mencintainya.
******
Akhirnya, mereka sampai di tujuannya. Angel pun kini sudah duduk di atas ayunanya yang sesekali dia ayunkan sendiri, sedangkan Brama dia jongkok tak jauh dari Angel. Brama pun sibuk dengan beberapa tangkai bunga di tangannya. Saat Angel baru ingin bertanya, Brama malah sudah kembali menghampirinya sembari tangan kiri itu mengenggam sesuatu. Kini, Brama sudah berada di belakang Angel.
“Kamu mau ngapain, Bram?” tanya Angel penasaran.
Tanpa menjawab pertanyaan Angel, Brama melempar sesuatu ke atas. Ketika Angel sadar, ternyata itu adalah mahkota bunga yang menyibukkannya tadi. Semua itu pun jatuh berhamburan mengenai mereka berdua. Tanpa disuruh, Angel tertawa senang
mendapat kejutan sederhana tersebut.
“Bram, ini sangat indah sekali,” ucap Angel di sela-sela tawanya.
Respons itu membuat Brama tersenyum lalu dia jongkok di belakang Angel untuk mengimbangi posisi Angel. Dia pun merengkuh pinggang Angel dengan tangan kiri dan tak lupa kepalanya juga dia sendenderkan di pundak Angel.
“Kamu tahu nggak, Ly? Hal yang membuatku tenang dan nyaman?” tanya Brama berbisik.
“Apa, Bram?” tanya Angel. Dia pun masih menikmati mahkota-mahkota bunga itu yang mengenai kepalanya.
“Memelukmu seperti ini,” ucap Brama tersenyum.
Ucapan Brama direspons oleh Angel dengan tertawa. Dia pun menoleh menatap manik hitam Brama yang sudah membalas pandangannya terlebih dahulu. Senyuman manis itu mengembang lagi dan tak disangka Brama menghadirkan gantungan kunci berbentuk kura-kura di depan wajah Angel.
“Lucu nggak?” tanya Brama.
“Nggak. Lucuan yang pegang,” jawab Angel.
Mendengarnya, Brama pun terkekeh. “Ada-ada saja kamu.”
“Kok, ada-ada saja? Beneran itu, Bram,” sanggah Angel. “Lha, ini buat siapa?”
“Kamu, dong, tapi aku yang pasangin di handphone-mu, ya?” tawar Brama.
“Memang bisa? Itu gantungan kunci, lho, Bram,” sanggah Angel.
“Bisa. Mana handphone-mu?” pinta Brama lalu melepas pelukannya dan beralih berdiri di samping Angel.
Akhirnya, Angel menyerahkan handphone-nya kepada Brama. Kini, Brama jongkok kembali, kedua tangannya pun sibuk mengutak-atik handphone dan gantungan kunci tersebut. Setelah selesai, dia tiba-tiba mengarahkan kamera depan di hanphone Angel dengan posisi ingin memotret. Brama pun sudah berjongkok di depan Angel dengan membelakanginya.
“Ly, hadap sini, deh,” pinta Brama.
Angel pun hanya tersenyum di belakang Brama. Respons itu membuat Brama mendengkus kesal.
“Coba rangkul leherku, deh, Ly!” pinta Brama.
“Malu, Bram,” tolak Angel.
“Tak apa, nggak usah malu. Yok! Biar bagus fotonya,” kata Brama.
“Beneran aku nggak pa-pa rangkul leher kamu dari belakang?” tanya Angel.
“Nggak pa-pa. Masa aku terus yang rangkul kamu duluan? Gantian, dong!” gerutu Brama.
Angel hanya mengiakan. Lantas, dia pun merangkul leher Brama dengan kedua tangannya. Akhirnya, Brama dan Angel berfoto dengam berbagai pose. Namun, tetap dengan posisi tersebut. Jangan salah, foto mereka bak couple manis yang romantis.
Sudah puas berfoto, handphone Angel yang masih di tangan Brama, dipakainya untuk melihat-lihat kembali hasil jempretannya sambil sesekali tersenyum. Angel pun yang masih setia merangkul leher Brama karena sang empunya tak mau dilepas, juga sesekali tersenyum melihatnya.
“Bakat kamu, Bram, jadi fotografer,” kata Angel.
“Bagus, ya?” tanya Brama.
“Iya. Aku suka,” jawab Angel.
“Bentar, sebelum aku kembalikan, aku minta dulu yang paling bagus.” Setelah berkata demiakian, Brama mengeluarkan handphone dari saku hoodie-nya untuk mengirimkan foto itu. Selesai melakukannya, Brama mengembalikan handphone Angel dan beralih duduk di ayunan sebelah Angel.
“Lihat sunset setelah ini. Namun, kita salat asar dulu, ya, Ly?” tawar Brama.
“Sebelum turun, aku boleh minta sesuatu, Bram?” tanya Angel.
“Apa, Ly?”
“Mau diayunin kamu. Boleh?” pinta Angel.
Respons Brama terkekeh lalu dia berdiri, beralih ke belakang Angel. Ketika kedua tangannya memegang tali yang dihiasi dedaunan menjalar itu, Brama sedikit membungkukkan badan hingga kepalanya bersender di pundak Angel.
“Sangat boleh, Ly,” ucap Brama setengah berbisik.
Suara Brama membuat Angel menoleh dan tersenyum. “Terima kasih.”
Brama mengangguk, kemudian dia menegakkan badannya dan mulai mengayunkan ayunan Angel. Apa yang dilakukan Brama membuat Angel sesekali tertawa senang, begitu pula Brama. Namun, saat di situasi itu Brama sempat menatap Angel dalam.
“Ly, semoga suatu saat kamu bisa memaafkanku atas kesalahan itu. Namun, aku mencintaimu, Ly. Aku mengaku kalah dengan hatiku. Aku akan menanyakannya secara langsung nanti,” batin Brama.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Waktu Bersamamu
General Fiction"Aku paham. Namun, kamu butuh pelukan itu. Kenapa menghidariku setelah pulang dari luar kota sampai sekarang, Ngel?" tanya Brama. Deg! Mendengar pertanyaan Brama, Angel memejamkan mata dia merasakan guyuran hujan yang semakin deras jatuh ke kepala d...