With---41: Gugup

25 9 70
                                    

Pertanyaan Angel membuat Brama tersenyum seraya menatapnya lembut. Respons Angel terhadap  balasan Brama adalah satu menghela napas lalu dia menunduk.

“Aku tahu, Bram. Pasti kamu bingung ‘kan jawabnya? Maaf, ya?” kata Angel, kemudian melepas tangan Brama dari pipinya dan beralih menatap depan.

Brama terkekeh melihat tingkah Angel lalu dia meraih dagunya agar sang empunya bisa menatapnya kembali.

“Kamu ragu denganku, Ly?” tanya Brama menatap manik hitam Angel lekat.

“Iya, aku ragu. Kamu cowok yang terlalu berani datang ke hidupku, Bram!” tegas Angel, dia pun membalas tatapan Brama.

“Aku datang ke hidupmu karena aku ingin membantumu,” jawab Brama.

“Bantu apa, Bram? Menjagaku? Omong kosong!” bantah Angel. Kini, dia beralih tertawa sinis.

Bantahan Angel membuat Brama tertawa sinis juga. Dia memajukan wajahnya hingga hidung mereka saling bersentuhan. Lantas, dia pun sedikit menggerakannya dengan lembut. Tingkah Brama langsung saja membuat jantung Angel bereaksi menjadi abnormal. Angel pun memejamkan mata untuk menetralkannya. Namun, saat itu tiba-tiba bayangan wajah Hans dan Rayyan datang. Refleks Angel memalingkan wajah dan menunduk sehingga tangan Brama yang ada di dagunya terlepas.

“Maaf, Bram,” ucap Angel gugup.

Mengetahui Angel gugup Brama tersenyum. Dia pun tidak tahu mengapa bisa dirinya melakukan hal itu kepada Angel. Mungkinkah dorongan dari hatinya atau dia gugup juga dengan pertanyaan Angel tadi?

“Gugup amat, Ly? Aku ‘kan cuma…” Kalimat Brama menggantung lalu dia terdiam.

Angel yang tahu Brama terdiam, dia menatap sang empunya kembali.

“Cuma apa, Bram?” tanya Angel penasaran.

“Cuma … apa, ya?” tanya Brama balik dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Cuma ngajak kamu main. Yuk, berangkat! Sudah ’kan di sini? Nanti aku jawab pertanyaan tadi,  kalau kita sudah sampai di sana.”

“Mau ke mana, Bram?” tanya Angel.

“Ada, deh. Aku bopong saja, ya? Biar cepat,” tawar Brama lalu dibalas anggukkan oleh Angel.

Akhirnya, mereka sudah duduk di atas motor dan Brama pun melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Brama tersenyum mendapati kedua tangan Angel melingkar di pinggangnya tanpa dia meminta terlebih dahulu.

“Tumben, Ly,” ucap Brama.

“Apanya yang tumben?” tanya Angel mengerutkan kening bingung.

“Es telah mencair akhirnya. Gitu terus, ya, Ly. Tanpa aku minta pun, sudah hakmu memeluk aku seperti ini kalau lagi di atas motor,” balas Brama.

Sadar akan kedua tangannya yang melingkar di pinggang Brama, langsung saja dia melepasnya.

Dug!

Tas rajut warna biru toskanya mendarat di kepala Brama sehingga sang empunya kepala mengaduh. Tangan kanannya pun mengelus kepala itu dan kembali lagi menyetir dengan kedua tangan.

“Ya Allah, Ly. Kapan, sih, kamu bapernya? Ini malah dipukul. Sakit, Ly!” gerutu Brama.

“Salah sendiri kepedean. Refleks itu, Bram!” protes Angel.

“Oke, deh. Aku ngalah. Dasar cewek dingin!” ledek Brama.

“Biarin!” bantah Angel.

“Eh, Ly. Mau cobain hal baru nggak?” tawar Brama.

“Hal baru apa, Bram?” tanya Angel balik sembari membenahi letak tasnya.

Tanpa menjawab pertanyaan Angel, Brama menghentikan motornya di pinggir jalan lalu dia turun. Dia pun memindahkan Angel ke depan. Mendapati hal itu, Angel menatap Brama bingung apalagi ketika dia berpindah ke belakang.

“Kamu mau apa, Bram?” tanya Angel terkejut saat Brama melingkarkan tangan kanannya di pinggang Angel dan kepalanya pun dia senderkan di pundak. Lantas, Brama juga menegakkan motornya sembari menyetir dengan satu tangan.

“Ketika motor ini melaju rentangkan kedua tanganmu, Ly. Teriak sekerasnya,” pinta Brama lalu melajukan motor tersebut.

“Teriak apa, Bram?” tanya Angel.

“Brama ganteng juga boleh,” jawab Brama.

“Yeee! Itu mau kamu,” bantah Angel.

Reaksi Angel membuat Brama terkekeh lalu tangan kanannya yang melingkar di pinggang Angel beralih ke tangan kanan Angel. Dia menuntun tangan itu agar terentang.

“Ayo, Ly! Yang satu ngikut. Terus, setelah itu pejamkan kedua matamu,” pinta Brama.

Permintaan Brama sudah Angel lakukan.

“Lalu?” tanya Angel.

“Teriakan dua kata. ‘Aku bahagia!’ Sekeras-kerasnya,” bisik Brama ke telinga kiri Angel.

Bisikan itu membuat Angel membuka mata, kemudian menoleh sehingga pandangan mereka saling beradu. Saat Brama menatapnya, dia tahu sorot mata Angel menandakan rasa takut. Karena hal itu, dia tersenyum.

“Tidak pa-pa, Ly. Tidak usah takut. Ayo! Sama aku,” ucap Brama lantas memandang depan lagi dan begitu pula dengan Angel.

“Boleh, Bram?” tanya Angel.

“Boleh. Ayo! Sekarang,” pinta Brama.

Akhirnya, Angel menuruti hal itu. Dia berteriak sembari memejamkan mata dan merentangkan kedua tangannya. Mendapatinya, Brama tertawa di pundak Angel.

“Gimana, Ly, lega ‘kan?” tanya Brama.

“Banget, Bram. Apalagi ditambah anginnya yang kencang. Terima kasih, ya,” jawab Angel usai membuka mata kembali.

“Sama-sama. Ayo, lagi! Lebih keras,” pinta Brama, kemudian dia melajukan motornya lebih cepat dari yang tadi.

“Aku bahagia, Brama Ar-Bara!” teriak Angel.

Brama tertawa lalu dia menyahut. “Aku juga bahagia, Angelika Mentari!” teriak Brama lebih keras dari Angel.

Mereka pun saling tertawa membelah keramaian jalan raya, masih dengan sesekali berteriak juga. Angel akui dia bahagia dengan Brama; perlakuannya yang sederhana membuat hatinya nyaman. 

*****

Ketika Waktu BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang