Akhirnya, Angel menceritakan kembali tentang pelecehan yang dialaminya kepada Dokter Demian. Dia juga menceritakan tentang keluarganya yang hubungannya sudah tidak sehat. Dokter Demian mendengarkan dengan saksama. Beliau pun sebenarnya heran dengan Angel. Pembawaan dalam cara bicaranya sangat jelas. Angel dengan lancar menceritakannya tanpa dia menangis kembali. Angel memang kuat. Jika dia sudah tenang dia akan jujur; dari sorot matanya, siapa pun yang melihatnya tahu bahwa tidak ada secuil kebohongan yang dia utarakan.
Selesai berbicara, Dokter Demian menyamankan posisi duduknya yang ada di atas ayunan tersebut, lantas lengkungan di bibirnya terbentuk lagi saat memandang Angel.
“Kenapa, Dok? Terlalu aneh, ya, keluarga saya? Memang iya, sih,” kata Angel.
“Iya. Saya juga tidak mengelakanya. Bisa nggak kepercayaan itu dibangun lagi? Dia orang tuamu, lho, Ngel,” jawab Dokter Demian.
“Jika semuanya telah runtuh, Dok, mungkin bisa dibangun kembali meski sudah tak sekokoh dahulu. Saya dari kecil telah dipatahkan berkali-kali, Dok, hingga saya tak tahu apa rasanya bahagia. Hanya Kakek, Nenek dari Mama, dan Kak Hans yang memberikan rasa itu meski sedikit,” jawab Angel.
“Terus, kamu ketemu Rayyan, Danu, dan Krisna tidak bahagia, ya?” tanya Dokter Demian.
Mendengar tiga nama cowok tersebut, Angel tersenyum tipis.
“Mereka bagi saya adalah sanggahan kuat jika cowok semuanya tidak seperti Papa. Setelah Kak Hans yang sudah menyanggah terlebih dahulu akan hal tersebut. Danu cinta pertama saya. Cinta yang datang kala baru mengenal cinta; ternyata tak seperti novel-novel yang saya baca begitu indah di cerita akhirnya,” balas Angel sesekali tertawa.
Tawa Angel menular ke Dokter Demian, dia paham betul Angel memang periang. Di sesi saling cerita saja, dia masih bisa bercanda menertawakan dirinya sendiri atas pengalaman cinta pertama tersebut.
“Cinta memang begitu, Ngel. Kadang nggak seindah cinta di cerita fiksi. Terus, kamu saat ini lagi jatuh cinta dengan Brama Ar-Bara ‘kan?” tanya Dokter Demian to the point.
Angel tertawa mendengarnya. Usai tawanya reda, dia memandang Dokter Demian. Sesekali setelah itu, dia tertawa kecil lagi.
“Dokter psikiater ditakdirkan untuk kepo, ya, ternyata?” ledek Angel.
Dokter Demian tertawa juga mendengar hal itu. “Harus, dong, ‘kan saya ingin kamu sembuh.”
“Saya nggak sakit, Dok. Cuma capek total saja bingung mengatasinya harus bagaimana. Soalnya saya suka belajar bukan kurang ibadah dan nggak dekat dengan Tuhan. Terus, saya bukannya nggak pernah curhat dalam doa sama Tuhan. Saya tiap hari curhat, kok, Dok,” sanggah Angel.
Senyuman Dokter Demian mereka saat mendapat sanggahan itu. Kata-kata Angel memang dirangkai begitu sopan agar tidak memihak siapa pun.
“Seseorang yang lagi capek total memang dianjurkan berusaha dekat dengan Tuhan, Ngel. Namun, perlu digarisbawahi kita yang punya diri sendiri juga harus bisa menyelamatkan. Ibaratnya, ibadah itu pupuk dan konsultasi ke dokter adalah airnya. Maka dari hal tersebut, kita harus berusaha menyelaraskannya keduanya meski sulit. Orang yang sudah gila pun nanti akan kembali ke Tuhan. Jadi, sebagai manusia kita harus terus berusaha memanusiakan manusia itu sendiri biar menjadi manusia seutuhnya,” sahut Dokter Demian.
Perkataan Dokter Demian membuat Angel terdiam cukup lama lalu dia memadang dokternya dengan lekat.
“Maksudnya memanusiakan manusia itu sendiri, Dok?” tanya Angel bingung.
Kebingungan Angel direspons dengan tersenyum manis oleh Dokter Demian. “Kamu tahu belum fungsi, permainan ular tangga bagi manusia untuk memaknai hidup?” tanya Dokter Demian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Waktu Bersamamu
General Fiction"Aku paham. Namun, kamu butuh pelukan itu. Kenapa menghidariku setelah pulang dari luar kota sampai sekarang, Ngel?" tanya Brama. Deg! Mendengar pertanyaan Brama, Angel memejamkan mata dia merasakan guyuran hujan yang semakin deras jatuh ke kepala d...