"Kalau kamu nggak berhenti, Ly, aku akan memberi pengkhianatan terbesar dalam hidupmu kepada Rayyan. Toh, hanya kita berdua di rumah ini jadi aku bebas melakukannya," ucap Brama masih berusaha menghentikan pergerakkan tangan Angel yang semakin memberontak.
Ya, orang yang datang tadi adalah Brama. Dia waswas ketika telepon dan chat Whatsapp-nya tidak segera dibalas oleh Angel, padahal penting, Brama ingin menanyakan tugas matematika yang sama sekali dia tidak ingat.
Akhirnya, Brama memutuskan untuk ke rumah Angel. Namun, saat dia mengetuk pintu tak ada jawaban. Alhasil, karena pintu tidak dikunci, Brama pun masuk sendiri. Dia ke kamar Angel dan ketika baru sedikit membuka pintunya, Brama terkejut mengetahui tingkah Angel. Oleh sebab itu, Brama panik hingga membanting pintu.
Klang!
Mendengar ucapan Brama, Angel membeku dan tanpa sadar menjatuhkan cutter dari tangannya.
Plak!
Akhirnya, tangan kanan Angel menampar pipi Brama keras.
"Kurang ajar kamu, ya, Bram!" sanggah Angel emosi usai menampar Brama.
Mendengar hal itu Brama tertawa sarkas. Tanpa memedulikan rasa perih di pipinya dia beralih memandang wajah Angel sinis.
"Kena juga kamu, Ly," ucap Brama. Tangan kirinya masih memegang tangan Angel.
"Aku nggak akan mengkhianati Mas Rayyan apa pun yang terjadi. Sekali pun kamu memaksaku, Bram!" ucap Angel. Air matanya semakin deras.
"Aku juga tidak akan memaksamu, Ly, sekalipun kamu memberikannya. Aku bukan cowok brengsek yang tega merusak kehormatan orang seistimewa kamu. Tadi hanya gertakkan saja. Aku bingung untuk menghentikan pergerakkanmu."
"Aku takut, Bram. Jangan ngomong seperti itu lagi." Angel pun masih menangis dan melepaskan tangannya dari cekalan Brama.
"Maafkan aku, Ly. Aku tahu. Kamu orang yang sulit ditaklukkan. Apalagi itu, kamu sangat menghormati papamu dan Rayyan. Ada apa, Ly? Kenapa kamu melakukannya untuk yang keempat kali, masih kurangkah kegagalan itu?" tanya Brama lembut dan menghapus air mata itu.
"Aku ingin hari ini berhasil, Bram," ucap Angel masih menangis. Akhirnya, tubuh Angel ambruk di dada Brama.
Brama pun yang mendapatkan hal itu hanya bisa mendekapnya dan mengelus kepala Angel lembut. Dia tak peduli jika darah di pergelangan tangan Angel mengotori bajunya. Brama paham, Angel sangat rapuh saat ini.
"Aku merasa semuanya sia-sia, Bram. Buat apa aku belajar? Buat apa aku berprestasi baik sekolah mau pun di luar sekolah jika aku tidak berguna bagi mereka? Aku capek, Bram. Aku capek dengan sandiwara ini. Aku sakit bahkan sakit di pergelangan tanganku tadi tak seberapa dengan rasa sakit yang ada dalam hatiku. Aku bernyawa, Bram. Namun, antara ada dan tiada. Aku sudah nggak dibutuhkan di sini lagi. Keluarga, lingkungan ... hingga sekolah pun juga. Aku nggak ada tempat lagi. Terus, di mana tempatku, Bram?" tanya Angel di dalam tangisannya. Dia semakin erat mendekap Brama.
Sang empunya tubuh pun berusaha mengimbanginya dengan sesekali menghapus air matanya sendiri. Entah, dada Brama sangat sesak melihat Angel seperti ini. Meski dia tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya hingga Angel menjadi nekat begini.
Brama masih membiarkan Angel menangis dalam pelukannya lalu setelah dia sedikit tenang, Brama melepas pelukan tersebut dan beralih menangkup kedua pipi Angel.
"Ly, kamu di sini ada tempat, kok. Tempatmu ada di aku," ucap Brama, memandang lembut mata Angel yang masih berair itu.
"Apa kamu serius dengan omonganmu, Bram?" tanya Angel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Waktu Bersamamu
Fiction générale"Aku paham. Namun, kamu butuh pelukan itu. Kenapa menghidariku setelah pulang dari luar kota sampai sekarang, Ngel?" tanya Brama. Deg! Mendengar pertanyaan Brama, Angel memejamkan mata dia merasakan guyuran hujan yang semakin deras jatuh ke kepala d...