With---13: Bukan Dia

45 15 44
                                    

Di dalam ruang rawat Angel, Rayyan melepas seragamnya, menyisakan kaus putih dan menyampirkan seragam itu ke kursi. Dia menggeser tubuh Angel yang di atas brankar sedikit ke samping. Setelah melakukan hal itu, Rayyan merebahkan tubuhnya di samping Angel. Tak lupa dia sudah melepaskan kedua sepatunya.

Tangan kanan Rayyan pun pelan-pelan meraih tangan kiri Angel untuk digenggamnya. Dia mengadah menatap langit-langit ruangan tersebut sambil sesekali menoleh memandang wajah Angel yang tenang dengan matanya tertutup itu.

“Aku memang bukan kakak yang baik buat kamu, Ngel, meski kamu selalu bilang aku kakak terbaikmu. Apa yang dilakukan cowok itu ke kamu?” tanya Rayyan masih menatap Angel.

Beberapa detik setelah Rayyan berkata demikian, Angel siuman lantas dia sedikit mengedarkan pandangan dan menoleh. Namun, dia terkejut mendapati sang kakak berbaring di sampingnya.

“Mas Ray?” panggil Angel pelan. “Kok, kita di sini?”

Pertanyaan Angel membuat Rayyan tersenyum tipis.

“Sudah, istirahat dulu!” pinta Rayyan.

Angel terdiam dengan perkataan Rayyan. Namun, dia refleks melepas dan menarik tangannya dalam genggaman Rayyan. Mendadak wajah seorang cowok yang memegang handphone di tangan kanannya terlintas dalam pikirannya. Dia teringat jelas akan senyuman puas tersebut.

“Nggak, Mas! Jangan genggam tangan aku dulu!” pinta Angel. Dia panik dan menggeser tubuhnya menjauh dari Rayyan. Untung ukuran brankarnya luas, jadi Angel masih aman tidak terjatuh.

Respons itu Rayyan paham apa artinya. Dia menatap adiknya tegas, tetapi sangat lembut.

“Aku bukan dia, Ngel. Aku kakakmu, Rayyan. Tolong! Percaya sama aku, ya?” pinta Rayyan.

“Mas Rayyan tahu? Namun, sebentar, Mas. Aku butuh waktu,” ucap Angel lalu menghela napas.

“Aku tahu. Namun, dia yang jahat. Aku tidak, Ngel. Orang lain pun begitu. Tidak semua cowok itu jahat,” jawab Rayyan.

Deg!

Perkataan Rayyan membuat Angel menitikkan air mata lalu dia terisak. Mengapa kejadian itu selalu datang kembali ketika dia sedang lelah dengan semuanya? Padahal, hal tersebut telah lalu. Mengapa hati ini selalu sakit ketika bayangan wajah cowok itu ada dalam pikirannya? Angel pun meremas baju lalu memukul dada itu berkali-kali, berharap rasa sakitnya  segera mereda.

Tingkah Angel membuat Rayyan menggeser tubuh mendekatinya. Dia menghentikan pergerakan tangan Angel. Mengetahui hal itu, Angel diam menatap Rayyan dengan derai air mata.

“Boleh aku memelukmu?” tawar Rayyan. 

Angel terdiam lama mendengar tawaran Rayyan. Setelah itu, dia mengangguk. Sudah mendapat respons dari sang adik, Rayyan langsung meraih tubuh Angel dan mendekapnya erat. Dekapan hangat itu membuat Angel semakin jadi tangisannya.

“Maafkan aku, Mas. Aku ingkar janji dengan Mas Rayyan, aku tidak bisa menjaganya. Aku kotor,” kata Angel dalam tangisannya.

Perkataan Angel membuat dada Rayyan seperti dihantam, semakin sakit dan sesak meski dia juga menangis untuk menghilangkan hal tersebut. Namun, dia gagal sudah; bentengnya telah roboh.

“Kamu nggak salah. Kamu tetap suci. Kamu menjaganya dengan baik, kamu selalu menepati janji. Aku yang minta maaf, Ngel, sudah berprasangka buruk padamu,” jawab Rayyan.

“Namun, aku terlihat, Mas, semuanya. Aku…” Kalimat Angel mengantung dalam isakannya. Dia belum berani bercerita, tetapi semakin memperdalam pelukan tersebut.

Rayyan paham. Dia membalas pelukan itu, sesekali  mengelus rambut Angel.

“Tenangkan dirimu dahulu, Ngel. Nanti kamu boleh cerita, ya.” Rayyan pun berucap demikian dengan posisi yang sama. Anggukan Angel dalam pelukan Rayyan adalah responsnya. Dia menghela napas agar segera tenang walau air matanya masih deras.

*****

Di sisi lain, Brama telah keluar dari ruang guru. Dia membawa beberapa lembar materi untuknya dan Angel buat difotokopi. Tak lupa, berkas Angel pun yang belum lengkap dia bawa juga. Lain dengan milik Rayyann. Dua benda itu dibawakan oleh Ake sebagai patner olimpiadenya. Namun, belum jauh dia keluar dari ruangan, Brama menemukan jepit berbentuk huruf H. Dia pun menebak kalau itu milik Handa yang sedang berdiri tepat di depannya dengan posisi membelakangi. Tanpa berkata-kata lagi,  Brama beralih berdiri di depan Handa yang tampak berbicara lewat telepon, lantas langsung saja dia memasangkan jepitnya di belahan rambut kiri Handa.

“Brama, kamu sedang apa?” tanya Handa terkejut, kemudian menutup teleponnya dengan salam.

“Memasangkan jepitmu. Jatuh tadi,” jawab Brama.

Pemilik jepit itu pun membiarkan Brama menyelesaikan aktivitasnya. Beberapa saat kemudian, Brama yang sudah selesai pun memandang wajah Handa sembari tersenyum.

“Lain kali hati-hati,” ucap Brama.

“Iya. Terima kasih, Brama,” jawab Handa.

“Sama-sama. Aku pergi dahulu,” pamit Brama.

Saat Brama melangkah belum jauh darinya, Handa masih memandangi punggung Brama seraya tersenyum dengan sesekali memegangi jepit tersebut. Tiba-tiba jantungnya berdegub.

“Ada apa denganku? Kenapa jantungku tak seperti biasanya?” ucap Handa sendiri, kemudian dia kembali masuk ke ruang guru.

*****

Ketika Waktu BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang