With---31: Lebih Pantas

66 18 72
                                    

“Aku tidak merasa berkorban, Mas. Aku hanya mencoba menyuarakan hati mereka yang nggak sekuat aku. Aku juga tidak membela yang salah. Namun, aku hanya ingin memberitahu kesempatan itu,” kata Angel. Akhirnya, dia berbicara setelah beberapa menit hanya diam memandang wajah Rayyan. “Aku nggak habis pikir, Mas. Mudahnya seseorang menghakimi manusia lain dengan sisi kirinya padahal hal tersebut masih dapat diperbaiki.”

Mendengar hal itu, Rayyan menghela napas. Kedua tangannya yang tadi menghapus air mata Angel kini beralih merapikan helaian rambut yang sedikit basah karena air mata tersebut ke belakang daun telinga.

“Ngel, kita nggak bisa mengatur penilaian manusia terhadap diri kita. Pendapat setiap orang berbeda-beda. Oke, tujuan kamu baik, Ngel. Namun, kamu tetap salah memilih cara itu. Aku paham sifat kamu, tetapi setiap hal yang kita lakukan belum tentu baik di mata orang lain. Contohnya, Bu Bira tadi. Beliau menganggap itu baik, jadi kita diharuskan untuk menurut,” jawab Rayyan.

Jawaban Rayyan membuat Angel berdeceh lalu dia menghela napas agar dadanya semakin lega.

“Apakah kematian Kak Virsen adalah sebuah kebaikan, Mas Ray?” tanya Angel.

“Nggak, Ngel. Itu bukan sebuah kebaikan,” sanggah Rayyan. “Aku pun yang menjabat menjadi ketua OSIS merasa gagal.”

“Namun, nasi sudah menjadi bubur, Mas Ray. Kita nggak bisa membuat Kak Virsen hidup kembali. Aku nggak kebayang jadi Kak Virsen lelah dan sakitnya seperti apa, meski hidup aku sendiri juga berantakan. Mental Kak Virsen nggak seperti aku, dia benar-benar tumbang saat diserang dari segala sisi. Aku cuma ingin hal tersebut tidak terulang lagi.”

“Iya, aku paham. Terus, kamu yakin dengan surat ini kamu nggak kena marah Om dan Tante?” tanya Rayyan berganti topik pembicaraan dan memperlihatkan amplop itu di depan Angel.

“Memang itu yang aku mau. Paling diseprot perkataan seperti Bu Bira tadi,” jawab Angel.

“Gila kamu, Ngel! Sakit hati, kok, mau ditambah. Aku sudah tahu semuanya, diskusimu dengan Bu Bira tadi. Bu Bira memang benar-benar, kalau ngomong nggak mikirin perasaan lawan bicaranya.”

“Mas Ray, tahu dari siapa?” tanya Angel penasaran. Tidak mungkin Bu Bira menceritakannya.

“Brama.”

“Ah. Dia lagi,” gerutu Angel lalu beralih duduk bersila.

“Kenapa?” tanya Rayyan, kemudian dia juga duduk bersila di samping Angel.

“Bingung. Mau tak baikin atau tak cuekin, sama saja nggak berubah. Aku yang takut cintaku makin besar dengannya.”

“Dia mencintaimu, Ngel.”

Jawaban sang kakak membuat Angel terdiam. Mengetahui hal itu, Rayyan pun memandang adiknya dalam. 

“Kok, diam?” tanya Rayyan.

“Lagi nggak mau membahas itu, Mas. Adikmu sedang berusaha mengambil sisi positif berkataan Bu Bira tadi. Beliau benar, Mas. Namun, di sisi lain hati ini juga sakit. Sebegitu tidak pantaskah aku mendapatkan hal itu? Beliau seseorang yang harus aku hormati, tetapi mengapa begitu, Mas? Benar-benar dunia ini nggak ada rumah untuk manusia seperti aku dan Kak Virsen! Ketika mendapat serangan itu, tidak semua orang kuat. Ibaratnya nggak ada tempat untuk mengadu selain Tuhan. Tuhan memang selalu ada, Mas. Namun, manusia juga membutuhkan manusia lain yang menganggapnya ada.” Angel pun bercerita. Dadanya sesak kembali dan air mata itu tumpah lagi.

Rayyan masih memandang Angel dengan tenang. Namun, setelah tangisan itu semakin menjadi, hatinya mulai merasakan sakit seakan-akan dia adalah Angel sendiri.  Kedua tangan tersebut bergerak merengkuh tubuh Angel, tetapi tiba-tiba sang adik menghindar.

“Kenapa?” tanya Rayyan heran.

“Mas Ray ketua OSIS dan ini di sekolah. Aku menjaga nama baik Mas Ray,” sanggah Angel masih disela-sela tangisannya.

“Ini di belakang sekolah, Ngel. Tak apa. Toh, dulu juga pernah. Kita saudara, Ngel,” ucap Rayyan.

“Itu dahulu sebelum Mas Ray menjadi ketua OSIS,” jawab Angel.

“Aku nggak peduli, Ngel. Kamu butuh ini.” Akhirnya, Rayyan merengkuh tubuh adiknya dan memeluk dengan hangat. Di dalam pelukan itu tangisan Angel semakin menjadi-jadi.

“Kamu pantas, Ngel. Lebih pantas dari mereka malah,” ucap Rayyan pelan dan mempererat pelukannya.

“Mas, stop! Jangan nenangin aku dengan kata-kata itu. Bilang saja yang sebenarnya,” sanggah Angel tersedu-sedu.

“Aku nggak menenangkanmu, Ngel, itulah kenyataannya,” bantah Rayyan. “Kamu lebih dari segalanya. Dengarkan aku, Ngel! Sini tatap muka aku!” pinta Rayyan. Dia melepas pelukannya, lantas memandang wajah adiknya lekat dengan menangkup kedua pipi itu agar Angel dapat menatapnya.

“Aku tahu sakit hatimu, Ngel, bagaimana kamu dihina. Aku juga merasakan itu. Kamu adik aku, Ngel. Nggak ada orang lain selain kamu yang bisa mengambil sisi positifnya setelah diserang dari segala sisi. Kak Virsen saja bunuh diri dan kamu juga ‘kan? Namun, Tuhan lebih percaya kamu daripada Kak Virsen. Gunakan kepercayaan itu! Hatimu sekuat ini meski sudah hancur berkeping-keping. Nggak apa, lingkungan, keluarga, teman dan guru memandangmu remeh. Namun, dirimu sendiri, Tuhanmu, hingga orang-orang yang sayang sama kamu berharap Angel tetap tumbuh untuk memetik hal baik dalam hidupnya,” ujar Rayyan panjang lebar.

Angel malah semakin menangis dan memeluk erat tubuh kakaknya lagi. Rayyan pun hanya membalas dengan hal yang sama.

“Aku berusaha, Mas, tetapi hati ini tetap sakit,” jawab Angel sesenggukan.

“Itu wajar, Ngel. Sudah aku bilang ‘kan? Aku juga merasakannya,” balas Rayyan.

“Terus apa yang harus aku lakukan?” tanya Angel.

“Belajar terus mengontrol diri dan tanggung jawab atas perbuatanmu.”

“Bantuin, ya? Pasti aku akan bertanggung jawab karena itu kesengajaanku.”

“Iya. Aku akan membantu mengontrol dirimu sampai kamu sudah siap untuk mengontrolnya sendiri. Merokoknya jangan diulang lagi dan besok mamaku saja, ya, yang datang ke sekolah?” tawar Rayyan.

“Nggak, Mas. Orang tuaku saja, salah satu dari mereka. Biar mereka tahu anaknya juga manusia,” sanggah Angel.

“Ngeyel, ya, kamu? Aku takut kamu ditampar lagi. Tamparan papamu sakit, lho,” kata Rayyan.

“Biarin, Mas. Tinggal dikompres nanti sembuh.”

“Ngel, tapi---“

Kalimat Rayyan terpotong ketika tangan kanan Angel bergerak ke bibirnya dan jari telunjuk itu menempel di sana. Setelah Rayyan diam, dia memeluk kakaknya lagi.

“Sudah, Mas. Kita berdiam gini dahulu, deh. Aku mau peluk kamu sampai bel masuk berbunyi. Pelukanmu itu pereda dari segala sedihku,” kata Angel, semakin nyaman dalam pelukannya dengan mata terpejam.

“Yee, tadi nggak mau. Nyaman ‘kan akhirnya?” ejek Rayyan sesekali mengelus rambutnya dan mengecup sekilas kepala Angel.

“Tadi hanya waswas akan jabatanmu, Mas,” kata Angel.

“Aku nggak mikirin itu, Ngel. Toh, aku dan kamu wajar seperti ini. Baru kalau lebih, itu tandanya aku bukan kakakmu lagi. Kakak itu menurutku menjaga. Apalagi kalau adiknya cewek istimewa dan nekatan seperti kamu.”

“Terima kasih, Mas. Kalau aku sampai tertidur karena nyaman, bagunin, ya?” pinta Angel masih dengan posisi yang sama.

“Ogah! Biarin saja tidur di lapangan,” tolak Rayyan.

“Terserah kamu, deh. Hari ini aku akan me time di pelukanmu.”

Ocehan Angel membuat Rayyan tertawa. Meskipun begitu, dia tetap membiarkan Angel memeluknya. Rayyan akui pelukan Angel memang hangat; hangat akan ketulusannya.

*****

Ketika Waktu BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang