Akhirnya, usai meniup lilin, Angel langsung membagi dua sepotong martabak itu dan diberikan kepada Krisna. Namun, dia menolak. Alhasil, Angel memakannya sendiri. Krisna pun hanya memandang Angel, sesekali tersenyum hingga tangan kanannya bergerak mengelap cokelat yang menempel di pipinya.
“Pipinya jangan dikasih, kali, Ngel,” ucap Krisna sesekali tertawa. Dia sudah selesai mengelap.
“Aduh. Maaf, Kris,” balas Angel lalu dia berhenti makan dan meletakkan martabak di atas piring. Lantas, dia menaruhnya di samping dan Angel pun mengambil tisu dari dalam saku roknya untuk membersihkan tangan Krisna yang terkena cokelat.
Tingkah Angel membuat Krisna terkekeh. Tanggung jawab Angel memang besar meski itu hanya hal yang sangat sederhana.
“Angel, Angel. Bisa nggak, sih, tidak seperti ini? Kamu terlalu lembut tahu. Gampang dimanfaatin orang yang nggak tepat,” ucap Krisna lalu membersihkan tangannya sendiri setelah membiarkan Angel melakukannya sejenak.
“Bukannya aku yang manfaatin orang, ya, Kris?” tanya Angel.
Mendengar hal itu, Krisna tertegun. “Hah? Nggak ada sejarahnya seorang Angelika Mentari memanfaatkan orang. Kamu merasa?”
“Iya. Lebih tepatnya, selalu merepotkan orang,” jawab Angel.
Entah mengapa omongan Angel membuat Krisna menonyor kepala Angel keras hingga sang empunya pun mengaduh dan sedikit mengelus kepalanya supaya sakitnya reda. Pasalnya, gadis ini memang terlalu rendah hati.
“Rendah hati baik. Namun, bodoh jangan. Bodoh merendahkan diri sendiri.”
“Kenapa?” tanya Angel bingung.
“Karena kamu istimewa. Istimewa dalam segi apa pun.”
“Contohnya?” tanya Angel lagi. Sebab, dia tak merasakan dirinya seperti itu.
“Rendah hati, cantik, sopan, baik. Selalu memikirkan perasaan orang lain tanpa memikirkan perasaannya sendiri dan hal itu yang paling aku benci dari kamu, Ngel. Mungkin kamu tidak merasakannya. Namun, bagi orang lain yang tulus denganmu. Tahu, keistimewaan tersebut. Aku orangnya, aku sudah melihat hal itu dari kamu.”
Mendengar hal tersebut Angel tertawa, dia lalu memandang Krisna. “Ada-ada saja, kamu, Kris.”
“Lho, kok, ada-ada saja? Itu beneran malaikat matahari tak bersayap,” protes Krisna.
Angel pun semakin tertawa mendapati panggilan Krisna kepadanya. “Aku bukan malaikat, Kris. Toh, aku melakukannya sama Brama.”
“Melakukan apa?” tanya Krisna.
“Aku memanfaatkan Brama, Kris.”
“Dalam hal?” tanya Krisna bingung. Pasalnya, menurut dia, Angel sama sekali tidak melakukan hal itu kepada Brama. Malah dia yang waswas, rasa cinta Angel akan dimanfaatkan untuk kepentingan Brama sendiri.
“Iya. Brama capek kalau keseringan bantuin aku,” ujar Angel.
“Yang minta siapa?” tanya Krisna.
“Brama.”
“Terus, kamu pernah menolak nggak?”
“Sering. Namun, dia mau terus.”
“Ya, sudah. Itu urusannya, tetapi kenapa kamu berpikiran seperti itu? Tidak ada yang membuatmu seperti ini kalau nggak ada yang bilang. Siapa, Ngel? Itu orang benar-benar nggak punya hati. Kalau pun kamu bisa memilih. Kamu nggak mau berurusan hati sama Brama ‘kan? Masalahnya, dia mendekat; mendekat dengan alasan semu. Jujur, aku nggak tahu maunya apa,” ujar Krisna.
“Ada yang bilang, Kris. Namun, kamu nggak perlu tahu. Aku akan mengikuti alur yang dibuat Brama saja,” jawab Angel.
“Nah ‘kan benar. Ya, sudah kalau nggak mau ngomong. Maksudnya, kamu mau nurut saja tanpa mempertegas dia?” tanya Krisna.
“Iya, Kris.”
“Kalau gitu bodohmu berlapis,” sanggah Krisna tertawa sarkas.
“Lho, kok, gitu?” tanya Angel bingung.
Pertanyaan Angel membuat Krisna mengelus rambut Angel lembut, sesekali menyelipkan helaiannya ke belakang daun telinga.
“Cinta dengan dasar ketulusan itu boleh, Ngel. Namun, kalau kamu seperti itu, kamu sama saja dengan cewek-cewek yang dekat sama Brama tanpa ada kepastian. Kuharap kamu lain.”
“Lain, maksudnya?” tanya Angel penasaran.
“Brama menyamakan semua perasaan cewek. Dia memberi perhatian itu biasa. Padahal, perasaan setiap cewek berbeda-beda. Buatlah Brama mengerti dan berhenti atas permainannya. Bermain dengan perasaan sebab dia tidak merasa melakukannya.” Usai berkata demikian, Krisna memberhentikan perlakuannya kepada Angel.
“Aku paham. Aku juga membatasi diri sendiri agar tidak terbawa perasaan sama dia meski aku sudah mencintainya dari awal.”
“Aku harap jika kamu sudah mempercayainya. Kamu tidak akan tersakiti.”
“Itu konsekuensinya, Kris.”
“Kamu siap?” tanya Krisna.
“Paling nangis,” ucap Angel lalu tertawa. Menetertawakan diri sendiri lantas dia makan martabaknya lagi sampai habis dan meletakkan piring kecil itu di sampingnya. Krisna pun tertawa juga mendengarnya, kemudian dia mengambil paper bag kecil tadi dan memberikan kepada Angel.
“Ada titipan dari Ray dan Saras,” ucap Krisna usai Angel menerima.
“Ini apa?” tanya Angel lalu membukanya, kemudian dia heran karena ada gulungan kertas kado dan selotip bening di dalamnya. “Kok, ada ini buat apa?” Angel pun mengeluarkan kedua benda tersebut.
Keheranan Angel membuat Krisna menepuk jidat. Pasalnya, dia kemarin ketemu Rayyan dan Saras di toko aksesoris membelikan jepit sama gantungan kunci motif bunga mawar untuk Angel. Saras sempat bilang agar jepit dan gantungan kuncinya dibungkuskan oleh Rayyan. Namun, malah kertas kadonya yang masih tergulung rapi dan selotip juga dia jadiin satu dalam paper bag lalu diberikan kepada Angel. Krisna tak habis pikir. Alhasil, dia terbahak-bahak akan hal itu. Melihat Kriska demikian, Angel pun tertawa setelah menyadari perlakuan Rayyan kepadanya. Usai meredakan tawanya, dia tersenyum.
“Aku suka kejutannya. Aneh, sih. Namun, manis,” jawab Angel.
Akhirnya, Krisna berhenti terbahak lalu dia memandang Angel, sesekali menggelengkan kepalanya karena heran.
“Ray tadi nitip aku buat dikasihkan ke kamu. Dia sibuk, urusan OSIS menumpuk. Eh, kok, jadi gini. Mungkin, kamu disuruh bungkus sendiri. Lucu baget masmu itu, Ngel. Ya Allah,” ucap Krisna sesekali tertawa lagi.
Namun, sebelum Angel menyahut kembali, tiba-tiba Brama datang dan mengajak Angel ke ruang BK menghadap Pak Lukman untuk hafalan. Angel pun menyanggupi lantas meminta tolong Krisna membawakan paper bag kecil itu ke dalam kelas. Tak lupa Krisna juga membawa piring kecilnya tadi dan sisa lilin itu ke kantin untuk dikembalikan. Pasalnya, kejutan tersebut terlintas begitu saja saat dia makan martabak dan tepat juga hari ini tanggal ulang tahunnya Angel.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Waktu Bersamamu
General Fiction"Aku paham. Namun, kamu butuh pelukan itu. Kenapa menghidariku setelah pulang dari luar kota sampai sekarang, Ngel?" tanya Brama. Deg! Mendengar pertanyaan Brama, Angel memejamkan mata dia merasakan guyuran hujan yang semakin deras jatuh ke kepala d...