Brama masih santai berjalan sambil membopong tubuh Angel tanpa ada beban sedikit pun di matanya. Keringat bahkan saja tidak muncul. Angel diam, dia hanya bertanya-tanya dalam hati. Ternyata Brama membawanya ke ruang BK. Dia tak peduli kalau ada banyak pasang mata murid yang melihatnya sampai Bu Bira dan Bu Kenanga pun yang ada di ruangan tersebut heran.
“Bram, Angel kenapa? Kalau dia sakit dibawa ke UKS, dong, bukan ke BK,” ujar Bu Bira.
“Dia nggak sakit, Bu, tetapi mau menyerahkan diri atas perbuatannya,” jawab Brama lalu mendudukkan Angel pada kursi tepat di depan meja Bu Bira.
“Karena?” tanya Bu Bira bingung.
Pertanyaan Bu Bira dibalas tersenyum oleh Brama, kemudian dia mengeluarkan bungkusan plastik tadi dan mengambil rokok beserta korek apinya. Brama pun meletakkannya di atas meja lalu menggeser lebih dekat tepat di depan Bu Bira yang sudah duduk.
“Maksudnya apa ini, Brama? Kamu merokok?” tanya Bu Bira.
“Tidak, Bu. Angel yang melakukannya,” balas Brama.
“Apakah itu benar, Angel?” tanya Bu Bira langsung beralih ke Angel.
“Benar, Bu. Saya melakukannya,” sahut Angel.
Sahutan Angel membuat Bu Bira tersenyum mengejek, lantas tatapan yang awalnya terlihat biasa sekarang berubah menjadi tajam.
“Tahu kalau ini melanggar aturan sekolah? Kenapa dilanggar? Mencari perhatian?”
“Iya.”
“Nggak mempan. Sudah cacat, tidak menjaga nama baik diri sendiri. Kamu mau jadi apa nanti?” tanya Bu Bira beliau sudah mulai emosi.
“Mau jadi apa saya nanti bukan urusan Bu Bira. Bu Bira kenapa, sih, selalu memandang negatifnya terlebih dahulu sebelum tahu alasannya apa? Angel paham ini salah. Saya akan tanggung jawab atas konsekuensinya. Namun, terlepas dari itu, saya hanya ingin menarik perhatian orang tua saya. Bu Bira bisa ‘kan tanya baik-baik tanpa menghakimi, seakan seseorang yang sekali salah tidak bisa diperbaiki. Dia akan terus menjadi jelek karena hal itu, padahal sisi kanannya masih banyak, Bu,” sanggah Angel.
“Tetap saja, Ngel, karena satu kesalahan itu kamu akan dipandang buruk. Buat apa jadi murid pintar kalau nggak bisa diteladani dan melanggar aturan sekolah?” bantah Bu Bira.
Mendengar hal itu, Angel tertawa mengejek. Pasalnya, Bu Bira memang merasa benar sendiri dengan embel-embel demi kebaikan muridnya. Namun, kenyataannya beliau malah menekan murid tersebut dan tanpa disadari murid yang sudah tidak punya rumah pada dirinya sendiri lalu berharap rumah keduanya adalah sekolah sirna sudah. Dunia ini seperti tidak ada pilihan hidup, tetapi diambang kematian. Itulah yang dirasakan Angel. Untungnya dia mempunyai logika yang baik, maka dari itu Angel berani menyanggah. Guru memang harus dipatuhi. Namun, tidak, jika guru tersebut di luar batas. Kita berhak menegurnya bahkan membuka suara, mengutarakan isi hati.
Sebelum Angel menjawab kembali, tiba-tiba adik kelasnya masuk. Dia membawakan wolker. Setelah Angel meminta tolong untuk meletakkan di samping kursi dia duduk. Angel pun mengucapkan maaf dan terima kasih; maaf karena merepotkan harus mengantarkan wolkernya lalu terima kasih sebab telah membantu. Usai adik kelas itu keluar, Angel beralih memandang Bu Bira lagi.
“Buat apa menjadi guru kalau bisanya hanya menghakimi murid atas kesalahannya yang masih dapat diperbaiki? Toh, jika murid itu belum dikeluarkan dari sekolah, mereka bisa diarahkan dengan baik-baik ‘kan, Bu? Tanpa digunjing dan disindir setiap hari? Mereka hanya ngin bicara dari hati ke hati, Bu. Bukan jadi tranding topic dan bahan perbandingan,” jelas Angel. Dia menatap Bu Bira tegas. Di matanya tak ada rasa takut sedikit pun. Angel sudah muak dengan semuanya, di mana murid-murid yang lain merasa tertekan dengan pemikiran beliau yang terlalu keras dan parahnya sangat menghakimi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Waktu Bersamamu
General Fiction"Aku paham. Namun, kamu butuh pelukan itu. Kenapa menghidariku setelah pulang dari luar kota sampai sekarang, Ngel?" tanya Brama. Deg! Mendengar pertanyaan Brama, Angel memejamkan mata dia merasakan guyuran hujan yang semakin deras jatuh ke kepala d...