With---43: Brama Bertingkah

42 8 36
                                    

Sudah memetik berbagai bunga hingga penuh dua keranjang, kini Brama dan Angel duduk berayun bersebelahan di tepi danau tak jauh dari kebun itu. Brama pun sibuk merangkai bunga daisy kuning, sedangkan Angel dia memilih-milih bunga untuk dia bawa pulang ke rumah. Selesai dengan hal itu, Angel menatap Brama. Dia penasaran apa yang dibuat Brama.

“Bram?” panggil Angel.

“Hmm,” jawab Brama masih fokus dengan kegiatannya.

“Buat apa, sih? Nggak mau aku bantu?” tawar Angel.

“Ada, deh. Ogah! Adanya ngerusakin bukan membantu kamu, tuh!” ledek Brama sesekali tertawa.

“Yeee! Apaan? Tapi benar juga, sih. Aku nggak sabar kalau disuruh begituan, mending ditaruh dalam gelas kaca diisi air beres, deh,” balas Angel.

“Kamu suka itu? Ternyata sisi cewekmu ada, ya? Meski tampangnya tomboy. Manja juga kamu,” kekeh Brama.

Mendengar hal tersebut, Angel tersenyum tipis sembari menatap depan. Matanya dimanjakan oleh luasnya danau yang berwarna biru ditambah beberapa tumbuhan yang tumbuh di sekelilingnya.

“Itu semua hanyalah pengalihan, Bram,” ucap Angel usai menghela napas.

“Pengalihan dari?” tanya Brama. Dia pun seraya memasangkan bandana bunga daisy kuning di kepala Angel. “Nah! Pas ‘kan? Nggak susah ternyata mengenal dirimu, Ly.”

Mendadak tingkah Brama membuat Angel terkejut, dia langsung saja menoleh hingga tatapan mereka saling bertemu. Diam adalah responsnya. Brama dan Angel merasakan degub jantung masing-masing yang lebih keras dari biasanya. Merasakan hal itu, Brama yang sadar terlebih dahulu pun memiringkan kepalanya sembari tersenyum.

“Pengalihan dari?” kata Brama mengulang pertanyaannya tadi masih dengan posisi yang sama.

“Luka hati, Bram,” jawab Angel.

“Luka hati beda dengan luka fisik. Penyembuhnya pun juga,” balas Brama.

“Apa penyembuhnya, Bram?”

“Cinta yang kamu dapatkan dari orang lain,” ucap Brama, tangan kanannya beralih mengelus pipi Angel.

Mendengarnya Angel berdeceh, dia menatap Brama mengejek.

“Apa itu cinta, Bram? Terus, siapa yang akan memberikannya? Orang tuaku saja tidak memberikan itu. Jangan sok mengerti akan cinta, Bram. Semuanya omong kosong,” sanggah Angel.

“Aku yang akan memberikan cinta itu untukmu, Ly. Cinta yang bisa menyembuhkan luka di hatimu, tetapi semuanya tergantung kamu,” kata Brama.

“Maksudnya?” tanya Angel.

“Kamu izinin aku apa nggak?” tawar Brama lalu melepas tangan tangannya dari pipi Angel. Dia pun juga memajukan sedikit wajahnya menatap manik hitam Angel.

Deg!

Mendadak penawaran Brama membuat dia menjauhkan wajahnya. Angel mamalingkan muka menatap depan lagi. Namun, tiba-tiba ada sesuatu menyentuh pipinya dan sedikit mendapat tekanan. Sontak hal tersebut membuat Angel terkejut, ternyata Brama mencium pipinya dengan beralaskan sekuntum mawar putih. Selesai melakukannya, Brama tersenyum manis.

“Aku tahu, pipimu itu habis ditampar lagi dan tadi adalah obatnya,” ucap Brama. Dia terkekeh dengan tingkah Angel yang gugup.

“Bram, kenapa badanku jadi panas dingin gini? Aku masuk agin, kah?” tanya Angel polos sembari sesekali mengelus legannya untuk meredakan rasa itu.

Kepolosan Angel membuat Brama tertawa, dia tidak menyangka Angel masih belum mengerti akan hal tadi.

“Nggak karena masuk angin, Ly,” sanggah Brama gemas sendiri.

“Terus?” tanya Angel.

“Itu karena aku mencium pipimu tadi walau nggak langsung,” jelas Brama.

Plak!

Angel pun langsung menampar pipi kanan Brama membuat sang empunya pipi mengaduh dan mengelusnya seraya tertawa kecil juga karena Angel telah menyadari kejadian tadi. Melihat Brama kesakitan, Angel panik. Dia menyentuh tangan Brama yang masih memegang bunga mawar dengan sesekali mengelus pipinya sendiri.

“Maaf, Bram. Aku refleks,” ucap Angel dia khawatir. “Sakit pasti. Keras, kok, tadi.”

“Nggak pa-pa, Ly, tapi sumpah tamparanmu keras banget. Dua kali, lho, Ly,” sanggah Brama.

“Yang salah siapa coba? Pertama kamu mengancamku, kedua kamu berani banget cium pipiku. Itu nggak sopan, Bram!” gerutu Angel.

Gerutuan Angel membuat Brama tertawa, dia menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Brama tahu perbuatannya salah, dia hanya terenyuh saja ketika pipi tirus Angel yang cantik itu terlalu banyak bekas tamparannya.

“Ya, sudah. Memang aku yang salah. Maafin, ya?” pinta Brama menyodorkan tangannya untuk berjabat. “Aku refleks, nggak sengaja.”

Permintaan Brama membuat Angel mendengkus kesal, dia pun masih belum merespons.

“Ngambek, nih, ceritanya? Mau ke mana lagi setelah ini? Ke Gunung Himalaya pun aku turutin asal dimaafin, ya?” pinta Brama tersenyum manis menatap wajah Angel dan menurunkan tangannya.

“Aku nggak ngambek, Bram, cuma sebel saja.” Akhirnya, Angel bersuara merespons Brama.

“Oh, sebel? Oke, aku tahu biar kamu nggak sebel lagi dan maafin aku. Bunganya sudah? Aku ke petugas dulu, ya? Minta tolong dibungkusin, nanti biar aman bawa bunganya. Terus, kita lanjut. Kamu tunggu di sini dulu,” pamit Brama lalu membawa dua keranjang bunga itu dan meninggalkan Angel.

Namun, saat Brama berdiri Angel memegang tangan kanannya yang masih membawa sekuntum bunga mawar putih itu.

“Setelah ini kita mau ke mana?” tanya Angel menatap Brama.

Pertanyaan Angel membuat Brama tersenyum. “Ke mana saja, asal sama kamu.”

Setelah berkata demikian, Brama melepas tangannya yang dipegang Angel dan benar-benar berlalu. Angel yang ditinggal Brama, senyumannya mengembang. Dia sesekali menyentuh pipinya.

“Kenapa kamu berani sekali, Bram?” gumam Angel sendiri.

Setelah memasukkan bandana dan bunga mawar yang disumpingkan di telinga Angel ke dalam paper bag itu, Brama dan Angel melanjutkan ke tempat wisata lainnya lagi.

******

Ketika Waktu BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang