Sementara itu, Rayyan berjalan keluar dari toko kecantikan. Dia membawa paper bag kecil berisi mascara untuk Nadinia. Pasalnya, Rayyan merasa bersalah karena benda itu punya sang mama dan bukan milik Nadinia. Rayyan tidak bisa tega jika menyangkut soal wanita, yang mana masing-masing telah melahirkan generasi di seluruh dunia. Rayyan sangat mencintai, mamanya, Umi walaupun dia selalu bilang “kepo” jika sang mama ingin tahu terhadap dirinya.Rayyan memang sengaja, dia ingin orang tuanya tahu jika dia baik-baik saja melalui segala aktivitas yang dilakukannya dan hal itu sesuai dengan perasaan hingga hatinya pula. Rayyan berusaha menghargai perempuan. Karena baginya, bila dia tidak menghargai, itu sama saja Rayyan menyakiti sang mama.
Kemarin, Nadinia meminta mascara-nya kembali. Namun, Rayyan dengan tegas menolak meski dia menangis habis-habisan karena diamuk mamanya, tetapi daripada dia dicopot jabatan menjadi ketua OSIS sebab Nadinia lebih baik Rayyan membelikannya saja yang baru.
“Huft. Meski mascara ini harganya jatah tiga bulan isi kuota internetku, tak apalah. Demi kamu, Nadinia. Eh, bukan. Mamamu, kok,” ucap Rayyan sesekali berdiri sejenak memandang paper bag lalu melanjutkan langkahnya ke parkiran mobil untuk pergi ke rumah Nadinia.
Mulai hari ini setelah Rayyan pulang dari luar kota, dia diamanahi oleh sang kakek untuk memakai salah satu mobilnya agar mempermudah transportasi dalam menuntut ilmu. Rayyan pun setuju saja, meski dia harus ekstra mengatur keuangan yang diberikan orang tuanya dan hasil kerja sendiri di kafe--setiap hari Minggu dia menjadi pramusaji supaya dapat merawat mobil sekaligus motornya dengan baik.
Tiba di rumah Nadinia, Rayyan langsung saja mengetuk pintu dan beberapa detik kemudian, Nadinia muncul dibalik pintu dengan baju tidur motif lumba-lumbanya.
“Eh, Ray. Tumben ke sini. Ada apa? Untung aku sudah pulang dari rumah Pakdhe,” kata Nadinia.
“Nih, buat kamu!” ucap Rayyan sembari memberikan paper bag itu.
“Apa ini?” tanya Nadinia setelah menerimanya.
“Buka saja,” balas Rayyan.
Akhirnya, Nadinia pun membukanya, lantas terkejut dengan isi paper bag tersebut. Dia tersenyum lebar dan tiba-tiba Nadinia langsung memeluk Rayyan. Yang mendapat serangan itu pun kaget, tetapi dia tetap santai dan membiarkannya saja tanpa membalas.
“Aaa, Ray. Kamu memang pacarnya sahabatku yang baik. Terima kasih kamu telah membantu meringankan hukumanku dari Mama,” kata Nadinia lalu melepas pelukannya.
“Hukuman?” tanya Rayyan mengerutkan kening bingung.
“Iya. Hukuman, jika aku bisa mengembalikan maskacanya dengan cepat, aku hanya disuruh potong rumput dan ngepel rumah ini tanpa bantuan siapa pun. Kalau lama, aku bakal disuruh cari makan sapi juga. Terima kasih, ya, sekali, lagi,” ucap Nadinia.
Mendengar cerita Nadinia, Rayyan tertawa. “Sama-sama. Aku pulang, ya?” pamit Rayyan.
“Nggak masuk dahulu? Aku sama Papa dan Mama, kok, jadi aman,” tawar Nadinia.
“Nggak. Sudah malam,” tolak Rayyan.
Akhirnya, Rayyan pun pulang. Namun, sesampainya di rumah dia kaget mendapati sang mama di depan pintu ruang tamu. Melihat hal tersebut, Rayyan keluar dari dalam mobil dan menghampirinya.
“Kenapa, Ma?” tanya Rayyan ketika sudah berdiri di depan mamanya.
“Adikmu nggak sama kamu?” tanya Umi.
“Nggak. Dia sudah pulang ‘kan?”
“Belum. Tantemu tadi ke sini cari Angel. Coba kamu ke sana. Kalau belum pulang Mama izinin kamu mencarinya,” balas Umi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Waktu Bersamamu
Fiksi Umum"Aku paham. Namun, kamu butuh pelukan itu. Kenapa menghidariku setelah pulang dari luar kota sampai sekarang, Ngel?" tanya Brama. Deg! Mendengar pertanyaan Brama, Angel memejamkan mata dia merasakan guyuran hujan yang semakin deras jatuh ke kepala d...