26. Si anak pertama

1.6K 179 51
                                    

Rendra terdiam terpaku melihat pesan yang baru saja di kirimkan oleh keluarganya dengan waktu yang hampir bersamaan. Tidak lama, Rendra pun sadar dan melirik ke arah Renza yang kini menatapnya dengan kening yang menggerut keheranan.

"Kenapa, Bang? Ada yang kelupaan atau gimana?" Renza bersuara, dengan cepat Rendra menggelengkan kepalanya. Rendra sadar sepenuhnya dengan isi pesan yang isinya hampir sama semua.

Papahnya kecelakaan.

Pikirannya seakan loading mencerna semuanya, keadaannya capek dan di tambah dengan kabar buruk yang baru saja ia tahu. Rendra tidak bisa berpikir jernih lagi, apa yang ada dipikirannya hanya bagaimana caranya sampai ke Jakarta dengan cepat.

"Abang.." rengek Renza yang kesal tidak kunjung ada jawaban dari sang lawan bicara.

Belum sempat Rendra menjawab, suara panggilan masuk terdengar. Dengan segera Rendra pun berdiri dan sedikit menjauh dari Renza.

'Bang Rendra..'

Itu suara Om Rasen

'Papah gimana, Om?'

'Om otw sekarang jemput kalian ya.'

Rendra menggelengkan kepalanya, itu menghabiskan waktu yang lama.

'Gak usah, Om. Aku sama Renza aja, aku tutup dulu.'

Tut

Singkat saja. Karena Rendra tidak tahu harus berbicara apa kepada Om nya itu. Bukan tidak khawatir, tetapi otaknya terlalu bingung memikirkan semuanya.

Dengan helaan nafas gusar, Rendra kembali mendekat ke arah Renza dengan tatapan penuh harapan kepada adik kembarnya tersebut.

"Muka Abang pucet banget, istirahat sekarang gih, Bang. Capek banget, kan," ucap Renza.

"De, gua percaya lo bisa." Renza menyernyitkan dahinya heran, tidak mengerti dengan maksud Rendra.

"Kita ke Jakarta sekarang, gua dapat kabar Papah kecelakaan," ujar Rendra dan memelankan perkataannya.

"Hah?" Renza bingung.

"Papah kecelakaan?" sambung Renza. Tubuh yang lebih pendek dari Rendra tersebut tiba-tiba saja melemas, bahkan hp yang ada di tangan kanannya pun terjatuh saking syoknya.

"B-bang.."

Rendra menganggukan kepalanya.

"Jika lo pengen tahu keadaannya, gua gak tahu."

Renza terdiam, khawatir dan cemas bersamaan air matanya pun sudah tidak bisa ia tahan. Ingat bukan? Renza itu cengeng, apalagi jika berkaitan dengan keluarganya maka air mata nya tidak bisa ia tahan.

Tidak seperti Rendra yang bisa mengatasi dan menyembunyikan rasa khawatirnya.

"Bang apa yang bisa kita lakuin sekarang jika kita aja gak tau kondisi Papah," lirih Renza menghapus air matanya.

"Tenang," jawab Rendra singkat, karena nyatanya isi kepalanya sedang perang saat ini. Belum lagi dengan fisik dan batin yang sudah lelah setelah seharian berkelana di luaran sana sampai bertemu dengan dini hari lagi.

"Ade gak bisa tenang," isak Renza.

"Nangis bukan solusi, De."

"Ade bukan Abang gak bisa tenang, Ade punya rasa khawatir gak kayak Abang yang bisanya cuma diam tanpa bisa berpikir," sentak Renza begitu saja. Emosinya tiba-tiba saja melonjak. Papahnya kecelakaan, mana bisa ia tenang apalagi di posisi belum tahu kondisinya seperti apa.

"Lo pikir gua diem gak nyari solusi? Apa dengan cara lo nangis, lo dapat solusinya?"

"Jawab!" sambung Rendra saat tidak ada jawaban dari Renza, melainkan hanya ada isakan kecil. Sebenarnya Rendra sendiri tidak tega melihat Renza menangis. Hati kecilnya tersentuh, dengan perlahan tangan kanannya memeluk tubuh Renza dengan pelan, teringat dengan bahu kirinya yang masih sakit.

My Youth | Sequel Narendra vers IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang