Saat tersadar, Rendra menyadari bahwa keberadaannya kali ini bukanlah diruangan kerjanya atau bahkan di ruangan tempat meeting yang menjadi akhir kesadarannya hilang. Rendra mengenali tempat ini, tempat yang memang sudah tidak asing lagi semenjak ia di vonis sakit beberapa tahun yang lalu.
Di sampingnya terlihat seseorang yang melihatnya dengan raut penuh kekhawatiran. Dia adik kembarya, Renza.
Rendra bernafas lega melihat ada Renza di sampingnya, ya setidaknya ada orang yang menemaninya saat ini.
"Bang akhirnya lo sadar, lo butuh sesuatu?" Renza menyambut dan tidak munafik Renza senang melihat Rendra sudah sadarkan diri.
Merasa ada yang menghalangi di area bawah hidungnya, tangan kiri Rendra terangkat dan memegangi nassal canula menempel di sana.
"Mau minum?" Renza kembali menawari.
Rendra mengangguk lemah, dengan begitu Renza langsung sigap membantu Rendra untuk bersandar sebentar agar pada saat minum nanti Rendra tidak tersedak.
"Pelan-pelan aja," kata Renza membantu memegangi gelas yang berisi air putih.
Renza mengamati pergerakan Rendra pada saat meminum air itu, nampak kehausan memang.
"Tiduran lagi," sambung Renza menyadari bahwa Rendra menahan sakit, pasti kepala kakak kembarnya itu sakit dan pusing.
Sesudah mendapatkan posisi nyaman, Rendra memejamkan kembali. Sebenarnya Rendra belum terlalu ingat bagaimana kronologi yang terjadi kepada tubuhnya.
Seingat Rendra, ia baru saja selesai meeting tadi.
"Inget gak lo tadi kenapa?" tanya Renza dengan jemarinya memijiti lengan Rendra.
"Meeting.."
Renza berdecak kesal.
"Meeting aja lo selalu inget, kesehatan kagak lo pikirin."
Bibir Rendra terangkat sedikit mendengar gerutuan dari adik kembarnya tersebut.
"Lo pingsan abis meeting, kagak sadar-sadar dan langsung di bawa ke rumah sakit. Perasaan gua udah gak enak pas gua sadar kalau lo gak ngirim-ngirim chat ke gua, tiba-tiba aja ada yang ngabarin kalau lo ada di IGD. Sumpah ya, capek banget gua jadi kembaran lo. Suka aja bikin senam jantung," gerutu Renza.
Walau disertai dengan gerutuan, Renza tetap memijiti lengan Rendra dengan penuh kehati-hatian.
"Bang kita emang udah dewasa, tapi menurut lo orang dewasa jangan berbagi, ya? Hmm ya contohnya berbagi cerita?"
Rendra masih terdiam.
"Kita emang udah hampir 25 tahun, tapi gua selalu ingin tahu apa yang lo lakuin, apa yang lo rasain, apa lo bahagia atau lo lagi sedih. Dan melihat lo berada di kondisi seperti ini, jujur gua ikutan sakit lihatnya, Bang. Gua juga ngerasa gagal jadi kembaran lo, gua gak pernah suka nemuin lo di kondisi seperti ini, Bang," tutur Renza dengan suara yang pelan.
Soal Rendra, Renza selalu sensitif. Bagaimana baik buruknya Rendra, Renza lah yang paling mengerti.
Sakit sehatnya Rendra, Renza lah yang paling mengerti.
"Bang.. gua sayang banget sama lo," lirih Renza.
Rendra menatap Renza yang menunduk. Sakitnya memang selalu membuat orang-orang di sekitarnya sedih, entah sejak kapan Rendra sadar bahwa sehatnya sangatlah berharga di mata orang-orang terdekatnya.
"Lo tau jawabannya, De." Renza mengangguk.
"Gua tahu lo juga sayang sama gua, kan? Kalau gitu, hidup sehat ya, Bang. Jangan sakit-sakit terus. Gua capek ngomelin lo terus, tapi lo selalu ngacuhin itu. Kerja boleh, mikirin kesehatan juga harus, sayangi diri lo, Bang. Jangan cuma kerjaan yang lo sayangi," celetuk Renza.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Youth | Sequel Narendra vers II
Teen FictionSequel dari Narendra | Twins. 'Maaf dan terimakasih.' - Narendra Pradipta. Gak jago bikin deskripsi, caw langsung ke ceritanya. Dan jangan tertipu oleh cover yang cerah wkwk. Start - 17 oktober 2023