32. Istirahat dulu, ya?

1.3K 152 33
                                    

"Bang.." panggil Velly yang keluar dari kamar tamu, tempat ia mengintip Rendra tadi. Marven yang baru saja masuk ke dalam rumah terperanjak kaget dengan panggilan tersebut.

Marven berdengus kesal, tetapi ia tidak bisa marah karena Velly adalah adiknya. Dia adalah tipikal kakak yang tidak bisa memarahi adiknya apalagi dengan kesalahan-kesalahan yang bukan permasalahan yang besar.

"Dari tadi aku nungguin Abang. Banyak hal yang ingin aku ceritain ke Abang yang gak bisa aku ceritain ke Mamah," lirih Velly dengan suara yang pelan.

Rumahnya saat ini ramai. Tentu saja karena akan di adakan pernikahan Rion dan kekasihnya. Seluruh keluarganya berkumpul dan besok akan bergegas ke hotel tempat pernikahan di adakan. Velly yang memang sudah lelah bercekrama dengan saudara-saudaranya hanya ingin bersama Marven.

Melihat banyak sekali hal yang terpendam di wajah adik perempuannya, Marven memeluk Velly dan mengusap punggung Velly dengan penuh kasih sayang. Bisa merasakan bahwa adiknya itu berada di titik terendahnya saat ini, Marven pun pernah berada dititik itu.

Marven sangat merasakan bagaimana tegasnya Xavier jika sudah menginginkan tuntunan dan larangan. Marven merasakannya sendiri, berjuang demi membahagiakan dan membuat Papahnya itu puas dengannya.

"Abang," lirih Velly.

"Nanti kita cerita-cerita, okei? Jangan dulu nangis." Velly menganggukan kepalanya.

Kesedihannya bertambah, saat ia sadari bahwa kakak laki-laki pertamanya akan menyunting perempuan yang dicintainya. Velly tidak akan kehilangan peran dan sosok itu, tetapi ini lah termasuk sakit hatinya. Harus merelakan kakak laki-lakinya dengan perempuan yang semulanya tidak ia kenali, dan Velly hanya berharap Rion bisa hidup dengan baik.

"Ehh anak bujang Mamah udah datang." Suara itu membuat pelukan adik kakak itu lepas, dengan cepat Velly menghapus air mata yang hendak menetes.

"Mamah, apa kabar? Mamah pasti kangen sama Apen," ujar Marven dengan wajah tengilnya. Dengan cepat ia pun memeluk Yala yang hanya sebatas dada karena postur tubuhnya yang lebih tinggi.

"Mamah selalu kangen sama Bang Apen," balas Yala

Velly tersenyum dengan tatapan yang semu, rumahnya selalu sama. Penuh dengan kasih sayang dan kebahagiaan, tidak jauh berbeda dengan apa yang di bicarakan orang-orang di luaran sana. Perih, sakit dan kesal hanya mereka yang memendamnya sendiri, tidak di pelihatkan pada orang-orang yang tidak mengerti.

Biarkan orang-orang tahu enaknya saja. Soal penderitaan, biarkan mereka pendam masing-masing.

"Bang Ion udah nanyain kamu terus tuh, pengen ngobrol sama kamu katanya." Marven mengangguk.

"Apen juga pengen ngobrol sama Bang Ion, Mah. Kek Apen tuh sedih juga bahagiaan juga Bang Ion mau nikah, ini kali ya patah hati seorang adik." Velly terkekeh mendengarnya, ternyata apa yang di rasakannya sama hal dengan yang Marven rasakan.

"Anak-anak Mamah sudah dewasa, dan tumbuh dengan baik. Tidak berasa Mamah harus lepasin Bang Ion sekarang, at some stage Mamah juga harus lepasin kalian menuju kehidupan yang selanjutnya. Berumah tangga misalnya.."

"Mamah ih Velly jadi makin sedih," rengek Velly.

"Haha anak gadis Mamah sedih juga ya. Udah ah jangan sedih-sedih. Apen di sapa dulu saudara-saudaranya. Adek bantuin Mamah di dapur yu."

***

Manusia bodoh memang layak di dapatkan oleh Rendra. Bahkan Rendra sendiripun menyadarinya, tetapi apapun kata yang mendeskripsikan tentangnya akan tidak ia perdulikan.

Rendra tetap lah Rendra yang menginginkan cintanya. Tulus dari dalam hatinya, walau pada nyatanya takdir tidak lah menentu tetapi apa salahnya ia berusaha?

My Youth | Sequel Narendra vers IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang