“Flo, kamu ke kamar mu dulu. Ayah dan Adrian ingin membahas sesuatu,” ucap Tommy.
Setelah mengobrol santai, Adrian ingin mencari tahu tenang kasus itu. Siapa tahu musuh-musuh mereka berdua memang terlibat.
“Iya.” Flora setuju. Dia akan mencari sesuatu juga di kamarnya.
Flora pun menaiki anak tangga dan memasuki kamarnya. Dia melihat seisi ruangannya yang tidak berubah sama sekali.
“Apa hubungan ibu Isvara dan ayah? Kenapa dia menyalahkan ibuku dan membahas tentang polisi?”
Flora duduk di kasur.
Setelah melamun beberapa saat, dia melihat kotak yang bertuliskan sampah di samping meja rias. Dia mengambilnya dan melihat semua itu.
Flora menatap fotonya dengan jubah praktek semasa kuliah. “Adelle memang gila. Dia seperti terobsesi dengan kehidupan ku,” gumamnya.
Tiba-tiba ponsel Flora berdering karena notifikasi pesan.
Crish
Flo, apa kamu ada waktu? Ada sesuatu yang ingin ku bicarakan.
Entahlah, aku sedang mengurus sesuatu. Bahas saja di kantor nanti. Bagaimana keadaan mu?
_____________
Dia meletakkan kembali ponselnya karena Crish hanya membaca pesannya.Flora menarik kursi ke depan lemari putih itu. Dia menaikinya dan mencoba mencari sesuatu di atas sana. Nihil, tempat itu benar-benar bersih.
Lalu wanita itu membuka lemarinya dan mencoba mencari-cari di sana.
Dia duduk di lantai karena kelelahan. Dia menekan dadanya yang sedikit ngilu itu. “Tentu saja Flora yang manja tidak pernah berolahraga. Sttt...” Dia meringis. Akhir-akhir ini dia sering merasakan sakit, jantungnya butuh istirahat yang banyak.
Dia pun bangun. Kakinya terarah menuju rak bewarna putih itu. Disana ada beberapa kotak juga.
Flora mengambil salah satu kotak yang bertuliskan ibu. Dia berpindah ke kasur dan mulai membukanya.
Wanita itu menatap semua foto itu dan tersenyum. “Aku bahkan tidak mengenal siapa wanita ini, tapi kenapa ada rasa padanya seolah-olah kami memang saling kenal? Nadira... ibu Flora.” Dia bergumam.
Foto-foto Nadira bersama Tommy nampak bahagia. Satu-satunya foto mereka bersama dirinya adalah saat wanita itu berbadan dua.
Matanya tertuju pada amplop coklat yang menjadi alas kotak itu. Awalnya dia tidak menyadari benda itu, sampai benang pengaitnya terkait ke gelangnya.
Flora membukanya dan melihat isi amplop yang berisi foto dan surat. Ibunya meninggal karena keracunan. Janin yang berumur tujuh bulan diangkat dan selamat.
Seseorang menutupi kasus itu dan pelakunya adalah Rumy.
Flora menatap foto Rumy yang menaruh sesuatu pada sup di depannya. Foto itu sedikit buram, mungkin hasil cctv jarak jauh.
Dengan perasaan yang tidak menentu itu, Flora kembali melihat foto selanjutnya. Foto dimana Nadira, Tommy, dan Rumy. Ibu Isvara menatap kagum Tommy yang sibuk membenarkan helaian rambut Nadira.
“Ibu Isvara menyukai ayah?” Flora terkejut. “Dan dia yang membunuh ibu?”
Detak jantung Flora tak karuan. Dadanya terasa sangat sakit saat ini. Tiba-tiba terlintas sebuah bayangan di pikirannya.
Flora dan Isvara berada di sebuah restoran mewah.
“Hay Flo, kenapa kamu lama? Aku sudah memesankan makanan untuk kita,” ujar Isvara menyambut.
Flora menatap Isvara dengan serius. Lalu dia duduk di depan wanita itu.
“Aku ingin bertanya.”
“Aku ingin bertanya.”
Kedua wanita itu mengucapkan hal yang sama. Mereka saling menatap penuh curiga. Wajah Isvara yang awalnya ramah berubah seketika.
Mereka diam sejenak, hingga akhirnya Flora kembali bersuara.
“Mama mu bekerjasama dengan seseorang untuk menutupi kasus kematian ibuku. Apa wanita itu yang meracuninya?” tanya Flora serius.
Isvara menatap Flora tanpa ekspresi. Lalu dia mengangkat kedua bahunya. “Kamu mencurigai mamaku? Jadi itu yang kamu tanyakan pada mama sampai dia berteriak histeris kemarin?”
Isvara tersenyum. “Kamu mirip ibu mu, wanita egois yang bodoh! Jalang dan mencuri pria orang!”
“Apa? Kamu gila! Jangan mengatakan ibuku seperti itu, Isvara! Lihat semua ini! Ibu dan ayahku saling mencintai dan justru mamamu yang ingin merusaknya!” ucap Flora seraya menunjukkan beberapa foto.
“Tapi mamaku yang lebih dulu mengenal ayah mu, kan? Sama seperti kasus kita. Aku mengenal Adrian dan Crish lebih dahulu,” ucap Isvara murka.
“Mengenal lebih lama bukan berarti kamu bisa memilikinya. Kamu tidak bisa menahan pria yang tidak mencintai mu,” ucap Flora.
Isvara tertawa. “Apa Adrian mencintai mu? Kamu mengejarnya mati-matian dan dia justru mencintai wanita lain, kan?”
Flora terdiam. Dia tidak masalah dengan itu saat ini. Dia ingin fokus pada kasus kematian ibunya. “Tante Rumy bersalah. Aku akan melaporkannya.”
“Jangan gila, Flora! Ibumu yang merusak mental mamaku dan kamu ingin memenjarakan mamaku?!”
Flora menatapnya. “Jadi kamu mengakuinya, ya. Memang benar tante Rumy yang meracuni ibuku.”
“Ya, seharusnya kamu ikut mati saat itu. Jantungmu pun harusnya berhenti berdetak saat itu!” Isvara memukul meja karena terbawa emosi.
Flora mengangguk. Dia mematikan rekaman suara di ponselnya yang masih berada di tas.
“Kamu tidak ada bukti, Flora! Kamu bodoh dan naif!”
Flora mengangguk lagi. “Aku ingin kamu membatasi diri dengan tunanganku. Meski Adrian tidak punya rasa padaku, dia memberikan ku kesempatan untuk membuatnya mencintai ku. Aku punya hak untuk mengatakan ini,” ujar Flora.
“Tidak, Flora. Adrian membenci mu.”
Flora menghela nafasnya. Isvara benar dengan semua itu. Dia tidak menyangkalnya.
“Apa yang ingin kamu tanyakan” tanya Flora kemudian.
Isvara menatap Flora dengan tajam. Tatapannya seolah siap membunuh wanita itu. “Apa yang kamu lakukan berduaan dengan Crish di dalam kamarnya?”
Flora menoleh.
“Kenapa kamu mengatakan mencintai Adrian sementara Crish pun kamu goda?!”
“Apa yang sedang kamu bahas ini?” tanya Flora sedikit bingung.
“Jawab, jalang!”
Flora langsung menampar wanita itu. “Aku bukan jalang! Kamu lah yang menggoda Adrian!”
“Kamu ingin memberi kabar tidak benar itu pada Adrian agar dia tidak menikahi ku, kan? Kamu adalah penghalang pernikahan kami, Isvara!” bentak Flora seraya menekan dadanya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat. Nafasnya tidak beraturan karena menahan sakit dan emosinya.
“Tapi kamu tidur bersama Crish!”
“Apa?" flora mengerutkan keningnya. “Crish menolongku yang pingsan di apartemen saat aku ingin menjumpai mu, bodoh!” Apartemen mereka memang sama.
Isvara menatap Flora yang kesakitan itu. “Untuk apa kamu menemui ku?”
“Membahas kasus ini. Awalnya aku tidak ingin menjumpai pembunuh itu, tapi sepertinya kalian sebelas dua belas. Aku membencimu, Isvara!”
Flora memejamkan matanya sembari menggigit bibirnya. Dia benar-benar kesakitan saat ini.
“Isvara menyukai Crish. Aku yakin dia pembunuhnya,” ujarnya. Dia mengemasi kotak-kotak itu.
Namun saat Flora ingin berdiri, dia langsung terjatuh ke lantai karena kehilangan kesadarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
EPHEMERAL LOVE
FantasySeorang dokter yang mencintai tenang dan senyap, juga tidak banyak bersuara, berbanding terbalik dengan apa yang harus dihadapinya. Flora Ivyolin yang tidak tertarik dengan percintaan menjadi seorang yang mengemis perhatian tunangannya karena sebuah...