Ruangan bernuansa putih dengan aroma obat menyengat itu nampak tiba-tiba sepi. Seluruh penjaga pergi sesuai dengan perintah tuannya.
Lenguhan pelan terdengar dari ranjang. Wanita yang sudah lama tidak sadarkan diri itu mulai membuka matanya.
Flora menyipitkan matanya guna meminimalisir pencahayaan yang menyilaukan itu. Dia bangun seraya meringis dan menekan dadanya.
“Adrian?” Dia mencoba memanggil suaminya.
Flora menoleh pada Ghina yang tertidur di sofa. Terdapat makanan dan minuman yang baru habis sekitar seperempatnya.
Flora pun menatap monitor, lalu selang infus, dan kabel serta selang lainnya. “Ah.., bagus. Sepertinya keajaiban selalu berpihak padaku. Kupikir aku akan mati,” ujarnya. Dia bangun dan mendorong tiang infusnya untuk menghampiri Ghina.
“Ma?” Dia menepuk pelan tangan mertuanya, namun wanita itu nampak tidur dengan nyenyak nya.
Flora tersenyum. Dia pun menyelimuti wanita itu, lalu kembali ke ranjang. Dia melihat ponselnya yang bergetar karena notifikasi pesan.
Isvara
Sudah bangun?
Mari lanjutkan pembahasan kita yang belum selesai. Kurasa kamu sudah tahu tentang siapa aku. Aku di ruangan mama.
________________Flora mengerutkan keningnya.
“Benar! Ibu Isvara membunuh ibuku, dan aku yakin Isvara adalah dalang dibalik kasus pembunuhan itu.”
Dia segera mencabut selang infusnya dan kembali mengambil ponselnya.
“Adrian?” Dia memanggil suaminya lagi namun tidak ada jawaban. Flora memutuskan untuk menelponnya namun tidak ada jawaban.
Adrian Love
Adrian
Tante Rumy yang sudah membunuh ibu ku. Ku rasa Isvara lah yang membunuh pegawai mu itu karena mereka dekat pada Crish. Dia meniru ku karena ingin menjebak ku.
________________Tidak ada jawaban.
“Ini akan berbahaya jika aku masih mendiaminya, dia akan bermain dengan lebih banyak nyawa lagi.” Flora menatap sekitar lalu mengambil sesuatu di bawah bantal. Suaminya mempunyai kebiasaan meletakkan senjata api di bawah bantal untuk berjaga-jaga.
Wanita itu merasa kesal karena ponselnya tiba-tiba mati. Dia memutuskan mengambil ponsel Ghina untuk berjaga-jaga.
Flora menarik pintu dan mengerutkan keningnya. “Yang benar saja, Adrian? Kamu tidak ingin menjaga ku atau bagaimana? Kenapa tidak ada pengawal?” Dia menggeleng tidak percaya.
Flora pun segera memasuki lift menuju ruangan dimana Rumy di rawat.
Setibanya disana, Flora mendorong pelan pintu itu. Pemandangan pertama yang dia lihat adalah wanita dengan gaun hitam, dan lipstik merah menyala. Dia meneguk wine dan bersiul setelahnya.
“Selamat datang, kak. Nyawamu boleh juga,” Isvara tersenyum dan menatap wanita itu.
“Apa yang sedang kamu bicarakan?” Flora mengerutkan keningnya karena tidak mengerti.
“Ah... ayah belum memberitahu, ya? Sebenarnya kita bersaudara, kamu lebih tua tiga bulan. Tidak merasa mirip dengan ku? Garis wajah kita, bentuk tubuh kita, dan darah kita. Ayah kita sama," ucap Isvara.
“Apa?” Flora terkejut. “Jangan bercanda, Isvara! Kamu benar-benar gila!”
“Hey... kenapa kamu tidak serangan jantung saja? Tapi itu adalah faktanya, kita hanya lahir dari rahim yang berbeda.” Isvara tersenyum. Dia melemparkan gulungan kertas pada Flora.
Wanita itu menunduk memungutnya. Dia membacanya dan benar-benar terkejut dengan isinya. Itu adalah hasil tes DNA. “Kamu licik, Vara. Kamu pikir aku akan percaya?”
Isvara tertawa nyaring. “Hebat sekali, ku pikir kamu akan serangan jantung setelah mengetahui fakta itu dan akhirnya langsung mati. Bagaimana bisa kamu tenang begitu? Biasanya kamu akan marah, takut, dan menangis.”
“Apa yang ingin kamu bahas? Katakan sebelum aku mengirim mu ke penjara,” ujar Flora.
Isvara berdiri dari kursinya. Dia meneguk kembali wine-nya dan menatap Flora. “Mama memang membunuh ibu mu, dan aku yakin kamu mencurigai ku karena kasus pembunuhan itu. Adrian dan Crish bisa ku kelabui selama sepuluh tahun ini.”
Flora menatap Isvara dengan serius.
“Fakta yang harus kamu tahu, Flora sialan! Aku yang membunuh pekerja Adrian itu, aku membunuh mereka karena mereka mendekati Crish ku. Awalnya aku ingin membunuhmu, tapi Adrian selalu saja mengawasi mu. Jadi ku buat skenario seolah-olah kamu adalah pembunuhnya agar mereka mencurigai mu.”
“Kamu gila, Isvara!" Flora menyela.
“Kamu pikir aku sudah selesai?” Isvara tertawa. “Mereka begitu memuja wanita penyakitan seperti mu. Jadi.... aku akan membunuhmu di hari ulangtahun mu ini, kak.” Wanita itu kembali duduk di kursinya dengan tatapan tenang.
Flora menggeleng. “Isvara, seharusnya bukan ini yang terjadi, kan? Kamu hanya bercanda. Sadarlah kembali, Vara!”
Isvara hanya tersenyum.
Mata Flora tiba-tiba menoleh pada monitor di sebelah Rumy. Dia menatap monitor itu dan benar-benar terkejut. Garis lurus dan angka nol terpampang jelas, bahkan suara yang harusnya terdengar nyaring itu ditutup dengan peredam suara.
“Astaga!” Flora berlari menghampiri wanita itu. “Isvara, panggil kan dokter, cepat!”
“Jauhkan tangan kotor mu dari mama ku atau aku akan membunuhmu!” teriak Isvara. Dia mengarahkan senjatanya pada wanita itu.
“Isvara, lupakan itu sebentar dan mari bereskan ini!” Flora menatap wajah pucat itu. Dia menyentuh nadi di tangannya dan terdiam sejenak. Tubuh wanita itu sudah dingin dan kaku.
“Menjauh!” Isvara berteriak kencang. Dia menghampiri Flora dan mengarahkan senjatanya pada wanita itu.
Flora menatap Isvara. “Aku turut berdukacita, Isvara. Mamamu sudah meninggal. Bukan barusan, tapi kamu sengaja menutupi faktanya, tubuhnya sudah sangat dingin dan kaku. Ada apa denganmu?” ucapnya.
“Kenapa kamu bertindak seperti pahlawan saat kamu sendiri yang menghancurkan hidup ku? Aku membencimu, Flora! Matilah!”
KAMU SEDANG MEMBACA
EPHEMERAL LOVE
FantasySeorang dokter yang mencintai tenang dan senyap, juga tidak banyak bersuara, berbanding terbalik dengan apa yang harus dihadapinya. Flora Ivyolin yang tidak tertarik dengan percintaan menjadi seorang yang mengemis perhatian tunangannya karena sebuah...