Ephemeral Love 66

22.3K 1.3K 30
                                    

Pria dengan pakaian hitam itu menatap seirus benda-benda di depannya. “Pengendali jarak jauh. Seseorang mengaktifkan peledak ini dari jarak jauh," ucapnya pada Amos.

Mereka menatapnya dengan serius.

“Aku bisa menjaminnya. Ini keahlian Resky," ucap Amos membalas tatapan Adrian.

“Adrian, kenapa kamu tidak mengangkat telepon pengawal mu?” tanya Crish setelah mengangkat telepon singkat itu.

Adrian meraba kantongnya dengan buru-buru. “Sialan!” Dia mengumpat. Pria itu langsung berlari ke mobilnya untuk mengambil benda pipih itu.

Setelahnya, Adrian mengambil ponselnya dan melihat panggilan-panggilan tidak terjawab itu. Namun matanya tertuju pada panggilan dari Flora dan notifikasi pesan itu. Dengan buru-buru dia membuka pesannya.

Adrian benar-benar terkejut. Saat dia ingin menelpon Flora, panggilan dari pengawalnya langsung masuk.

“Ada apa? Apa Flora sudah bangun? Apa terjadi sesuatu?”

“Tuan, maaf. Tapi kemana anda memindahkan nyonya Flora? Nyonya Ghina pun tidak bisa dibangunkan dan kami baru saja mengantar beliau keruangan lain untuk diperiksa.”

“Apa? Apa maksudmu?! Aku menyuruh kalian untuk menjaga keamanan agar seseorang tidak masuk ke sana!”

“Tapi anda sendiri yang meminta kami kembali ke mansion untuk mengurus kasus itu. Saat kami ke mansion, anda tidak di sana.”

“Sialan! Aku tidak menyuruh kalian untuk meninggalkan istri ku di sana!” ucap Adrian penuh kemarahan.

“Maaf tuan. Saya akan mengirimkan bukti jika andalah yang menyuruh kami pergi seraya menunggu nyonya Flora dipindahkan keruangan lainnya.” ujar pengawal itu dari seberang. Dia mengirimkan bukti panggilan dan rekaman telepon itu sebagai bukti.

Benar adanya jika itu adalah nomor ponselnya yang lain, dan itu adalah suara Adrian yang memerintahkan mereka mengurus masalah di mansion sembari menunggu Flora dipindahkan keruangan lain. Namun Adrian tidak pernah melakukannya.

“Dimana Flora?”

“Itu yang ingin kami tanyakan pada anda, tuan.”

“Persetan dengan kalian semua! Periksa sekitar dan cctv. Jika terjadi sesuatu pada istriku, aku akan membunuh kalian beserta keluarga kalian! Aku bersungguh-sungguh!”

“B-baik, tuan.”

Amos dan Crish mendengar itu semua.

“Ayo cepat!” Bentak pria itu. Adrian pun mencoba menghubungi nomor Flora, namun ponsel wanita itu sudah tidak aktif.

--o0o--

Setibanya di rumah sakit, Adrian langsung memukul salah satu pengawal di sana. Dia menghajarnya seperti kesetanan. Beruntung Amos dan Crish langsung menahannya. “Aku tidak akan memaafkan kalian!”

Adrian pun langsung masuk dan menatap pengawalnya yang lain sedang mengutak-atik komputernya.

“Nyonya Flora sudah sadar, dia keluar sendiri.” ucap pria itu seraya menunjukkan monitornya.

“Apa pak Dio sudah mengurusnya?” tanya Crish dan pria itu mengangguk.

Disisi lain, Dio ke ruang keamanan dan memperhatikan cctv itu. Dia meraih ponselnya dan menghubungi pengawal Adrian. “Di ruang 97 di mana pasien Rumy di rawat. Dokter Flora melewati koridor dan masuk ke sana.” Dio melaporkan dan langsung bergegas ke sana bersama yang lainnya. Kejadian ini menyebar ke seluruh rumah sakit, dan rekan-rekan Flora ikut andil mencarinya.

Sementara itu di dalam ruangan tersebut, Flora menekan dadanya yang berdetak tak karuan. Perih, terbakar, tidak terkontrol, seolah tertusuk, diremas, dan perasaan lainnya bercampur aduk saat ini.

Tangannya meraba ponsel Ghina yang dia gunakan untuk merekam suara segala kejadian itu. Bahkan tangannya tidak bisa menahan benda pipih itu lagi dan akhirnya terjatuh. Beruntung benda itu tidak rusak dan masih merekam percakapan mereka.

Isvara tersenyum menatap Flora dari sisi seberang ranjang, dimana tubuh tidak bernyawa itu tergeletak. Tangannya senantiasa menyodorkan senjata pada wanita itu. Awalnya dia ingin menembak Flora, namun saat wanita itu meringis kesakitan dia begitu menikmatinya.

“Ma, lihat ma!” Dia tertawa. Lalu tawanya yang bahagia menjadi luntur seketika melihat wajah pucat itu.

Dia menangis. “Ini tidak adil! Tidak seharusnya begini, kan?!” Isvara menoleh pada Flora yang menatapnya seraya meringis.

“Memang seharusnya tidak seperti ini, Vara. Jangan menjadi orang seperti itu, jangan dengarkan mama mu yang menghasut mu. Aku tahu... ma.... ssttt...” Flora semakin meringis saat jantungnya dipacu begitu kuat didalam sana.

“Mama tidak salah menyuruhku menukar obat-obatan mu, mama tidak salah menyuruhku memusnahkan semua penghalang ku, mama tidak salah menyuruhku membunuh mereka. Cuman mama yang tahu perasaanku!” Teriak Isvara tidak jelas. Dia menggeleng ke kiri dan ke kanan lalu menutup telinganya sambil berteriak histeris.

“Mati!” Dia berteriak. “Mati! Mati!” Isvara berteriak sampai senjata yang dia pegang tadi terjatuh ke lantai.

Flora menatapnya dengan perasaan iba yang menjalar begitu saja. Seharusnya bukan itu yang terjadi, bukan? Seharusnya wanita itu bahagia, kan?

Flora tidak membenarkan perbuatannya, tapi apakah pembunuh sebenarnya adalah Flora sendiri? Flora lain yang menelusup masuk ke dunia itu dan mengubah semua ceritanya?

Flora bergerak memeluk wanita yang sudah luruh di lantai itu walaupun dirinya tengah kesakitan. Dia memeluk Isvara yang memberontak, menangis, dan tertawa. “Tenanglah, Isvara. Ini salah..., bukan salah mu. Ini salahku yang sudah merebut kebahagiaan mu. Ini bukan salah Flora juga, tapi salah ku yang mendatangi dan mengacaukan semuanya. Mungkin aku sudah mati, atau sedang bermimpi panjang dan malah mengacaukan semuanya.”

Flora memeluknya erat, namun tangannya mengendur saat benda tajam berhasil masuk ke dalam perutnya. Dia mendorong Isvara yang menatapnya dengan senyuman lebar. Wanita itu menarik pisaunya dan menusuknya kembali.

Atensi wanita yang kehilangan akal itu beralih ke pintu yang tiba-tiba terbuka.

“Flora!” Adrian berlari menghampiri Flora yang menekan perutnya. Tangannya gemetar meraih wajah yang kesakitan itu. “Tidak... Flo....” Air mata Adrian mengalir kian deras. Dia benar-benar cemas dan takut.

“Apa yang kamu lakukan, Isvara!” Adrian murka pada wanita itu, dan Isvara hanya tersenyum puas.

“Kamu gila!" Crish yang baru datang bersama yang lainnya langsung menampar Isvara.

“Kenapa kamu menampar ku? Aku hanya membantunya agar cepat mati!” ucap Isvara.

Crish kembali menampar Isvara sampai wanita itu tersungkur ke lantai. Para polisi dengan segera menghampirinya.
“Lepaskan! Lepas!" Wanita itu meronta-ronta.

=========
Hy Ezeng, ini Tania Ssi.

Terimakasih sudah mampir dan jangan lupa untuk meninggalkan jejak vote dan komen, ya.

Maaf agak slow up akhir-akhir ini. Author rada sok sibuk.

Btw have a nice dream and love you♡

EPHEMERAL LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang