Nilam menghela napas. Kesal, gundah, uring-uringan, itulah yang Nilam rasakan saat ini. Entah apakah dia datang pada saat yang salah atau dia memang harus pindah kafe saat itu juga. Sayangnya, ini adalah kafe kesukaannya dan dia yang datang duluan sebetulnya. Nilam akhirnya menatap kosong layar laptopnya yang untungnya tidak kosong. Akan tetapi, suara-suara di meja sebelahnya cukup mengganggu Nilam. Nilam hanya berharap amarahnya tidak menyebabkan asmanya kambuh karena banyak mengambil napas pendek-pendek.
"Ini, Mbak, kopi kayu manisnya," kata pramusaji yang menempatkan minuman Nilam di mejanya. Nilam mendadak tersenyum. Satu alasan lagi mengapa Nilam tidak bisa pindah kafe adalah karena Nilam sudah keburu memesan minuman.
"Terima kasih," ucap Nilam. "Oh, boleh saya minta tolong?"
"Iya, Mbak?"
"Tolong beri tahu meja situ untuk tidak terlalu mengeraskan suara tawanya. Saya sedang ada PR mendengarkan ini. Wi-Fi rumah saya sedang diperbaiki, makanya saya perlu ikut di sini."
"Baik, Mbak."
"Terima kasih lagi."
Kafe tempat Nilam berada memang biasa dijadikan tempat mengerjakan tugas karena jaringan internetnya kencang dan dinding warna toskanya menyejukkan mata, belum lagi sajian makanan dan minumannya yang enak. Akan tetapi, saat ini, Nilam merasa terganggu oleh sekumpulan lelaki seumurannya yang sedang mengobrol heboh di meja yang lumayan dekat darinya. Nilam tidak pindah karena mejanya juga dekat dari stopkontak yang berfungsi untuk mengisi baterai laptopnya. Nilam diberikan tugas merangkum materi webinar—tentang apa pun, asalkan berbahasa Indonesia—untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Awalnya, Nilam terpikir untuk menumpang di rumah temannya, tetapi rumah temannya cukup jauh—teman-temannya yang lain bahkan sedang pergi dari rumah ("Kalau webinar bisa diikuti lewat gawai dari mana saja, kan?" "Aku juga sedang ada seminar luring di luar rumah."). Satu-satunya yang tersisa hanya kafe ini yang cukup dekat dari rumah Nilam.
Sang pramusaji menghampiri meja yang dimaksud. "Iya, iya." Terdengar para pemuda mengiakan sang pramusaji. Setelah sang pramusaji pergi, para pemuda yang ditegur pramusaji memandang meja Nilam karena dari situlah permintaan teguran untuk mereka berasal.
Seorang berkata, "Hei, itu bukannya anak dari sekolah kita?"
"Hoo, ternyata memang mejanya cukup dekat," kata anak lelaki lain.
"Ah! Dia pasti sedang mengerjakan tugas dari Bu Hasnah. Pacarku yang diajar Bu Hasnah juga dikasih tugas itu, merangkum materi webinar."
"Oh ya?"
"Haha, kasihan. Kamu dikasih juga, gak?"
"Enggak. Aku diajar sama Pak Ahmad."
Nilam berlagak menyimak webinar, tetapi dia masih bisa dengar kata-kata para pemuda meski sudah lebih pelan. Ternyata mereka satu sekolah! Adakalanya tawa mereka kembali kencang tidak terkendali lagi, tetapi Nilam sudah di penghujung webinar. Ketika webinar selesai dan Nilam keluar Zoom, Nilam pun membereskan bawaannya dan menghabiskan kopi kayu manisnya. Aku sudah dapat banyak kata kunci dari materi webinar tadi. Nanti aku buat rangkuman lengkapnya di rumah saja.
Nilam beranjak dari mejanya, melewati kelompok laki-laki sesekolahnya itu begitu saja seperti tidak memedulikan mereka lalu keluar kafe.
***
Bukan hanya para pemuda itu berisik sehingga mengganggu Nilam, tetapi juga para pemuda yang seperti itu adalah tipe yang tidak disukai Nilam. Berbicara dengan keras, mengobrol ngalor-ngidul, menongkrong di tempat-tempat (yang katanya) trendy, dan berdandan dengan gaya yang aneh. Nilam mengenal itu sebagai jamet atau kepanjangannya adalah "jajal metal". Mereka pikir mereka keren?! Mengapa mereka jadi jauh lebih berantakan kalau tidak pakai seragam di luar sekolah? Ya karena aturan sekolah lebih ketat, sih. Tapi mengapa mereka tidak belajar berpakaian lebih rapi meski tidak pakai seragam sekolah? Kebetulan para pemuda di meja tadi berpakaian seolah mereka adalah personel grup musik metal atau punk dan senang bermain skateboard. Ada rantai di celana mereka dan celana yang terkesan dipelorot-pelorotkan, atau juga celana pensil ketat beserta atasan kaus atau kemeja flanel kebesaran, belum lagi kalau celana jinnya sobek-sobek. Lebih-lebih, ada juga yang memakai gel rambut sehingga rambut mereka jabrik berdiri.
Sungguh tidak cocok! Untung saja di sekolah ada peraturan tidak boleh mengecat rambut dan bertato. Entah apa jadinya jika mereka mengecat rambut dan menato tubuh mereka.
"Ibu, aku pulang," Nilam sampai di rumahnya.
"Oh, halo, Nilam," sambut ibunya yang menenteng sepatu.
"Ibu mau pergi ke mana?" Nilam melihat ibunya yang menenteng sepatu, berarti ibunya mau pergi.
"Ibu mau beli bahan buat makan malam. Mau makan apa?"
"Hmmm, mungkin sayur bayam," jawab Nilam. "Lauknya udang goreng dan tempe."
"Oke," ibu Nilam pergi ke supermarket untuk berbelanja. Nilam naik ke kamarnya di lantai atas. Sesampainya di kamar, Nilam melanjutkan menggerutu dalam hati sembari mengeluarkan kembali laptopnya dari tas laptopnya. Nilam sudah berencana untuk masuk jurusan teknik di perguruan tinggi. Nilam meragukan bahwa para lelaki jamet itu sudah merencanakan mau kuliah di mana. Nilam menganggap mereka hanya menghabiskan waktu untuk mengobrol dan menongkrong sehingga tidak punya rencana ke depan.
Sungguh tidak keren! Aku harap Ardi dan Tarum tidak bakal begitu. Lazuardi "Ardi" adalah adik laki-laki Nilam yang kelas 3 SMP, akan mengikuti ujian ke SMA, dan Taruma "Tarum" adalah adik laki-laki Nilam yang baru kelas 1 SMP.
Nilam terus mengetik di laptopnya hingga rangkuman selesai dibuat. Setelah itu, Nilam mencetaknya dengan printer dan memasukkannya ke map tugas sekolah di meja belajarnya. Nilam turun ke lantai bawah. Ibunya sudah selesai berbelanja dan sedang berada di dapur sekarang. Nilam datang ke dapur untuk membantu ibunya membereskan barang belanjaan dan nantinya memasak makan malam.
"Ayah belum datang, ya?" tanya Nilam.
"Ayah lagi jemput Ardi dan Tarum dari bimbel SMP. Mereka minta tambahan."
"Oh, iya." Ayah Nilam tadi pagi pergi bersama teman-teman kerjanya hingga sore ini. Berarti sekalian.
"Tadi di supermarket, udang besarnya habis, jadi udangnya yang kecil-kecil. Karena gak bisa ditepungin, Ibu mau buat sambal udang aja," kata ibu Nilam selagi mengeluarkan bahan-bahan dari kantung belanjaan untuk dipilah dan disimpan ke kulkas. "Gapapa, kan?"
"Gapapa, Bu. Yang penting udang."

KAMU SEDANG MEMBACA
JAMETOLOGY
Подростковая литератураNilam tidak menyukai laki-laki jamet alias 'jajal metal' yang suka berpakaian dan punya gaya berbicara aneh serta menongkrong dan mengobrol berkepanjangan seperti tidak ada tujuan. Menurutnya, masa muda tidak boleh dilewati secara sia-sia tanpa renc...