JAMETOLOGY BAB XXV

55 28 10
                                    

Lele menyusul mereka saat Nilam, Lia, dan Mayang tengah mengunjungi Fakultas Ilmu Budaya yang ada jurusan Sastra Inggris-nya. Sebelum Fakultas Ilmu Budaya, mereka pun sempat berkunjung ke tempat Seni dan Desain, Teknik Pertambangan, Manajemen, Bioteknologi, Teknik Pertanian, dan MIPA. Cukup lama mereka berjalan-jalan sampai mereka hampir lupa bahwa mereka belum makan siang. Mereka menemukan kantin yang buka, yang tidak terlalu ramai tetapi masih tampak dikunjungi mahasiswa yang berkegiatan pada hari Sabtu.

"Enggak kerasa, ya, kita udah jalan-jalan selama dua jam," kata Lia.

"Kalian yang jalan-jalan, aku ikut seminar," kata Lele. "Aku jadi kebagian 30, 40 menitan."

"Ya, habisnya, kenapa kamu malah ikut seminar?" Mayang bertanya.

"Soalnya, Kak Nunu suka Geografi, padahal katanya juga kalau Geografi itu sulit. Kak Nunu sampai bilang kalau Geografi harusnya juga jadi mata pelajaran IPA," terang Lele. "Kata Kak Nunu, kayaknya dia mau ambil jurusan kuliah IPA, padahal dia IPS."

"Oh, saking sukanya dengan Geografi? Kak Nunu mempertimbangkan masuk Teknik Sipil?" tanya Nilam.

"Yah, sebenarnya, ada beberapa hal lain yang bisa dicoba yang ada kaitannya dengan Geografi. Oseanografi, Kartografi, Ilmu Pemerintahan, Hubungan Internasional, itu kayaknya yang gak bakal jauh-jauh dari IPS," kata Mayang. "Tapi kalau Kak Nunu juga suka menghitung, maka Teknik Sipil juga bisa jadi pilihan."

"Soalnya, di Geografi belajar jenis dan struktur tanah dan lain-lain," tambah Nilam. "Mungkin di situlah hubungannya dengan Teknik Sipil. Aku ambil mapel pilihan lintas jurusannya Geografi, kan."

"Ya gak masalah, sih, kalau Kak Nunu mau," kata Lia.

"Eh, kita ngobrol terus, belum jadi makan," ingat Mayang. "Kalian mau makan, enggak?"

"Iya, dong!"

"Mau!"

"Yuk beli makanan!"

Mereka berempat berdiri dari tempat duduk di kantin. Nilam menemukan tempat berjualan lumpia semarang dan martabak, baik martabak telur yang rasanya asin maupun martabak terang bulan yang rasanya manis. Nilam membeli semuanya untuk keluarganya di rumah, jadi Nilam meminta agar martabak dan lumpianya dibungkus. Nilam pun kembali ke meja kantin tempat mereka duduk tadi dan menemukan Lia sendiri yang duduk menunggu pesanan makan siangnya, seporsi bihun goreng.

"Lho, mana Mayang dan Lele?" Nilam bertanya seraya duduk di hadapan Lia.

"Mereka ke toilet dulu. Mereka udah pesan makanan. Kamu udah beli makanan?"

"Ini," tunjuk Nilam ke bungkus martabak dan lumpia semarang dalam kantong plastik yang dibawanya. Nilam mengambil sebuah lumpia semarang dari dalam kotak bungkusan lalu memakannya.

"Pasti kamu juga mau belikan buat keluarga kamu di rumah kalau beli banyak begitu," kata Lia sambil mengamati Nilam memakan satu lumpia semarang sampai habis.

"Iya, benar. Jadi, ibuku gak perlu banyak-banyak masak buat makan malam nanti."

Lia mengangguk-angguk mengerti. "Boleh aku bilang sesuatu ke kamu, Nilam?"

"Iya, boleh."

Lia mencondongkan badannya ke Nilam dan merendahkan suaranya. "Aku sudah tahu apa yang terjadi sama kamu dan Rubi di ruang OSIS."

"Hah?" Nilam heran.

"Rubi pernah menyatakan perasaannya ke kamu, ya kan?"

Nilam tertegun sejenak. Dengan perlahan, Nilam mengakui, "Itu benar. Rubi pernah bilang kalau dia menyukaiku. Kamu sudah tahu, ya?"

Lia menghela napasnya. "Kamu tahu, ya, aku suka Rubi?"

"Ngg," Nilam menggertakkan giginya, "tidak secara langsung. Urutannya, aku baru tahu kamu suka Rubi setelah Rubi menyatakan perasaannya kepada aku."

"Apa yang kamu bilang ke Rubi waktu dia menyatakan perasaan ke kamu?" tanya Lia.

Nilam menjawab, "Aku menolaknya. Aku bilang kalau Rubi bukan tipe cowokku. Aku tidak menyukai cowok jamet."

"Jamet?" Lia terkekeh, entah karena itu hal yang lucu atau itu hal yang pelik dan Lia menertawakannya. "Aku sudah suka Rubi sejak masih minggu-minggu awal semester ini. Aku sudah suka Rubi bahkan sebelum dia ganti penampilan. Aku suka Rubi meskipun kamu bilang dia jamet, sekalipun dia jamet."

"Ya, Rubi membuktikan ke aku kalau cowok jamet bisa menjadi baik, punya hati yang baik di dalam meskipun luarannya berantakan. Bisa dibilang, aku salah pula."

"Jadi, kamu suka Rubi yang memang jamet itu sekarang? Kalian memang dekat akhir-akhir ini."

Nilam mengernyit. Kemudian, Nilam menggeleng. "Aku enggak tahu."

"Kamu tidak tahu?"

"Tidak."

"Kamu tidak tahu jawaban dari pertanyaanku atau kamu tidak tahu apakah kamu suka Rubi atau tidak?"

"Rubi temanku juga, Lia," kata Nilam. "Dari mana kamu tahu kalau Rubi pernah menyatakan perasaannya kepadaku di ruang OSIS?"

Lia mendengus. "Aku tahu dari Lele. Lele tahu dari Kak Nunu. Kak Nunu tahu dari Kak Kintan dan Kak Septian, ketua OSIS dan wakil ketua OSIS."

"Hah!" Nilam terbahak dengan terpaksa setelah mendengar jawaban Lia. "Oke. Aku sudah tahu rantainya." Nilam menarik napas. "Lia, aku akan pulang sendiri setelah ini dengan taksi online. Terima kasih sudah mengajak kita pergi ke kampus ini untuk melihat gambaran awal kehidupan mahasiswa dan perkuliahan."

"Nilam ...!"

Nilam berdiri dan beranjak pergi sambil membawa kantong plastik berisi bungkus-bungkus martabak dan lumpia semarang. Lele dan Mayang baru saja kembali ke kantin dari toilet dan melihat Nilam meninggalkan meja mereka.

"Nilam, kamu mau ke mana?" Mayang bertanya saat Nilam melewati Mayang dan Lele.

Berusaha sewajarnya, Nilam menjawab, "Aku ada urusan lain, mendadak. Aku harus pulang duluan. Aku pulang pakai taksi online. Detailnya, coba tanya Lia. Makasih. Duluan, ya."

Nilam berjalan cepat meninggalkan kantin kampus dan teman-temannya. Teman-temannya pasti merasa bingung dengan semua ini. Nilam menghela napas. Nilam harus berjalan sendirian ke arah gerbang kampus untuk keluar. Nilam tahu bahwa Nilam tidak seharusnya melarikan diri seperti ini, Nilam sebenarnya tidak ingin melarikan diri. Namun, Nilam merasa kalau melarikan diri adalah suatu strategi yang dia bisa lakukan saat ini.

Termasuk dalam strateginya, Nilam merasa butuh cepat-cepat pergi karena Nilam harus segera memikirkan semua itu dengan pikiran jernih. Nilam ingin tahu pikiran dan perasaannya sendiri. Nilam memang sudah merasa aneh dengan dirinya sendiri. Tidak ada salahnya untuk mengecek kondisi dirinya sendiri, bukan? Dia harus memastikannya.

Saat Nilam sudah dalam mobil panggilannya, Nilam berpikir lagi selama duduk. Memangnya, apa, sih, yang aku pikirkan soal Rubi? Apa pula perasaanku ke Rubi? Rubi cuma temanku, kok. Silakan saja kalau Lia juga menyukai Rubi. Memangnya kita saingan? Rival cinta?

JAMETOLOGYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang