JAMETOLOGY BAB XIX

57 27 9
                                    

Pada suatu hari, para guru SMA Negeri 612 sedang mengadakan rapat penting bersama kepala sekolah. Oleh karena itu, para guru yang seharusnya mengajar pelajaran sebelum waktu istirahat siang menjadi berhalangan mengajar. Para siswa dan siswi pun mendapatkan jam kosong di kelas mereka tanpa guru.

Pada jam kosong, kelas 10 D tampak recok mengobrol dengan teman-teman sekelasnya. Bahkan ada yang sedang bermain permainan kartu Uno di bagian belakang kelas. Nilam menopang kepalanya dengan tangan di meja. Nilam belum ikut webinar baru lagi, jadi Nilam hanya berdiam di bangkunya. Lele sedang belajar mengedit foto dengan laptopnya (berdasarkan permintaan Kak Juno). Mayang sedang belajar dari buku untuk kompetisi Statistika.

Nilam akhirnya berdiri dari bangkunya karena bosan. "Lele, Mayang, aku mau keluar kelas, mencari udara segar mumpung gak ada guru."

"Ya, Nilam," Lele mengiakan. Mayang tidak berkata apa-apa, tetapi Nilam yakin Mayang mendengarnya.

Nilam keluar kelas. Nilam menghirup udara di tempat yang lebih terbuka. Nilam sontak teringat dirinya yang diselamatkan oleh Rubi beberapa hari lalu. Menurutnya, Rubi berani sekali melawan anak-anak geng motor 774 yang jumlahnya banyak. Jamet melawan jamet, betapa menariknya.

Telinga Nilam mendengar suara gitar yang dipetik dari arah kelas 10 C. Ada yang bermain gitar di kelas 10 C. Nilam ragu kalau Rubi bisa bermain gitar, tetapi kalau bisa, Nilam tidak akan kaget. Rubi seperti tidak bisa kehabisan kejutan. Rubi selalu ada untuknya di saat yang tepat, tepatnya tidak terduga. Jadi, Nilam tidak akan pernah bisa menduga hal-hal dangkal dari Rubi.

Nilam melihat isi kelas 10 C dari jendela. Siswa-siswi 10 C tampak sedang bernyanyi. Dari liriknya, Nilam tahu lagunya, lagu agak sedih dengan nada yang ringan yang dinyanyikan bersama-sama.


(Begini rasanya)

Terlatih patah hati

(Hadapi getirnya)

Terlatih disakiti

Bertepuk sebelah tangan (Sudah biasa!)

Ditinggal tanpa alasan (Sudah biasa!)

Penuh luka itu pasti, tapi aku tetap bernyanyi


Entah siapa yang patah hati di kelas 10 C. Atau siswa-siswi kelas 10 C hanya bernyanyi lagu itu karena iseng. Nilam melihat seorang siswa 10 C memainkan gitar di depan kelas, depan papan tulis, untuk mengiringi. Nilam juga melihat Rubi berdiri dan bernyanyi sambil bertepuk tangan. Nilam bisa menemukan Lia juga bernyanyi, tetapi wajah Lia tidak terlalu terlihat.

"Sepertinya, mereka sedang bersenang-senang," gumam Nilam perihal kelas 10 C. Apakah suara bernyanyi Rubi bagus juga?

Nilam sempat tersesat dalam pikirannya sendiri, sampai akhirnya Rubi pun keluar kelas karena butuh membeli jajanan ke kantin. Rubi menemukan Nilam sedang mengintip dari jendela kelasnya. "Nilam? Sedang apa kamu di sini?"

Nilam segera menoleh ke sumber suara. Memang. Lagi-lagi Rubi. "Oh, maaf, aku melihat kalian, anak-anak kelas 10 C, bernyanyi. Aku tadi sempat mencari udara segar di depan kelas."

"Oh, gapapa. Aku juga kebetulan mau ke kantin buat jajan. Aku mau beli minum, habis bernyanyi. Nilam mau ikut ke kantin?"

"Oh." Nilam tiba-tiba ditawari. "Boleh. Aku mau beli makanan juga," Nilam mengiakan.

Maka, Rubi dan Nilam pergi ke kantin untuk membeli makanan dan minuman. Nilam membeli keripik singkong pedas, onigiri, dan sebotol air mineral. Rubi membeli roti dan sekaleng soda.

Mereka tidak kembali masuk ke dalam kelas masing-masing setelah jajan. Mereka memutuskan untuk duduk bersebelahan di lorong depan kelas mereka untuk menikmati makanan dan minuman mereka. Rubi-lah yang mengajak Nilam mengobrol duluan. "Kelasmu juga jam kosong, kan," kata Rubi. Rubi tidak bertanya.

"Ya, betul," kata Nilam lalu memasukkan sekeping keripik ke mulutnya. Untuk orang yang senang mengobrol, pembukaan dari Rubi tadi terdengar canggung dan garing. Tentu saja Rubi sudah tahu kalau kelasku sedang jam kosong karena semua kelas di SMA ini begitu.

"Kita belum ada pemberitahuan kumpul divisi media lagi?" Kali ini, Rubi memang bertanya.

"Nanti akan ada, harusnya minggu ini bakal ada. Kecuali Kak Lany berhalangan, pasti kita akan ada kumpul lagi."

"Nah, benar, Nilam."

"Mengapa kamu mau mengambil divisi media, Rubi?" tanya Nilam sontak. "Kita jadi sedivisi dan kita sering terjebak bersama."

"Ah, kamu belum tahu pilihan divisi-divisi pensiku, ya?" Rubi balik bertanya. "Pilihan pertamaku, divisi medik. Pilihan keduaku barulah divisi media."

"Mengapa kamu memilih divisi media sebagai pilihan keduamu? Kalau divisi medik di pilihan pertama, aku tahu karena kamu anak PMR. Padahal aku kurang yakin kalau kamu mahir mendesain sebelumnya. Bukannya aku mengejekmu, ya."

Rubi tertawa begitu saja. "Satu hal. Kata 'medis' dan 'media' cuma beda satu huruf di akhir, kan? Beda huruf A dan huruf S di akhir. Dengan konyol, sempat kukira kalau divisi medis dan divisi media tidak berbeda jauh, tapi aku salah juga. Salahku yang memilih divisi media secara buta. Tapi, toh, pada kenyataannya, masuk divisi media tidak rugi-rugi amat. Aku jadi belajar mendesain."

Kini, Nilam yang tertawa. "Ya, itu konyol. Tapi itu sudah terjadi." Nilam melihat Rubi. "Kadang, kita butuh membiarkan hal konyol terjadi."

Rubi tertawa lagi dan menyetujui Nilam. "Benar. Karena itu akan mengarahkan kita ke takdir kita, sekonyol apa pun. Kita memerlukannya."

"Sekarang, kamu jadi jamet bijak."

"Kamu yang jadi bijak sekarang, Nilam."

Nilam menyunggingkan senyum. Ada hal lain yang terpikirkan olehnya, dia sudah memikirkannya selama beberapa hari ini. Untuk melakukan hal itu, Nilam membutuhkan Rubi. Rubi adalah orang yang bisa Nilam percayai untuk membantunya.

"Rubi, besok hari Kamis, kamu tidak bimbel, betul kan?"

"Ya, betul. Tapi, mungkin aku ada kelas pelajaran lintas jurusan."

"Aku mau ajak Rubi ke suatu tempat," Nilam berkata dengan cepat.

"Oh ya? Mau ke mana?"

"Ada saja, rahasia. Biar jadi kejutan," kata Nilam. "Besok, aku pasti bakal kasih tahu tujuannya ke kamu, kok."

JAMETOLOGYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang