Pada hari Jumat, sekolah sudah selesai pada tengah hari. Nilam pergi ke ruang OSIS. Tidak ada yang melarang siapa pun ke ruang OSIS, apalagi Nilam adalah pembantu OSIS.
Ternyata, di ruang OSIS ada Kak Kintan. Nilam sedikit terkejut karena mengira ruang OSIS kosong dari sepinya keadaan. Nilam masuk, "Permisi, Kak."
Kak Kintan melihat Nilam yang masuk ruangan. "Halo. Ada yang bisa dibantu?"
"Boleh lihat presensi siswa yang datang kumpul kemarin? Aku mencari nama teman yang baru aku kenal saat kumpul," kata Nilam jujur. Nilam merasa tidak ada gunanya mencari-cari alasan apalagi berbohong. Toh, Nilam masih kelas 10.
Kak Kintan tidak tampak curiga, tetapi dia berpikir, "Hmmm, di mana, ya, kertasnya?"
Kak Kintan melihat-lihat map besar berisi kertas. Tidak lama, Kak Kintan langsung menemukannya. "Ini dia. Silakan dilihat. Kalau sudah, tolong dibalikkan ke map yang itu, ya."
"Terima kasih, Kak."
"Sama-sama. Oh ya, aku mau keluar dulu. Aku mau ke kantin," kata Kak Kintan lalu keluar ruang OSIS.
Nilam membaca nama-nama yang ada di kertas presensi, tetapi Nilam tidak tahu yang mana nama lengkap lelaki bernama Rubi itu. Saat Nilam masih membaca, seseorang dari belakang mengagetkannya, "DUAR!"
"AH! Oh, kamu Lele," kata Nilam setelah melihat teman sekelasnya itu, Valeria. Nilam memanggilnya Lele agar singkat. Valeria atau Lele adalah adik dari Nunu si ketua pelaksana pensi.
Melihat Nilam yang memperhatikan kertas daftar presensi, Lele bertanya, "Kamu mencari apa?"
"Seseorang bernama Rubi."
"Oh, maksudmu ini?" Lele menunjuk sebuah nama yang terlihat olehnya.
Nilam terperanjat. "Gading Alfarubi?!"
"Itu nama lengkapnya."
"Jadi, namanya Gading, Alfa, atau Rubi?"
"Kadang Gading, kadang Rubi. Teman-teman panggilnya Rubi. Guru di sini lebih sering panggil Gading."
"Gading dan Rubi," Nilam memikirkan benda gading dan rubi yang asli. Sungguh berkebalikan. "Unik."
"Aku dengar cerita kalau namanya harusnya 'Gading Alfarabi', tapi huruf A kecil dan huruf U kecil itu hampir mirip di tulisan tangan ayahnya, jadi yang tertulis di akta malah "Alfarubi"."
"Asal-usul yang unik juga. Kamu tahu dari mana?"
"Ah, aku ada teman dari kelas 10 C. Dia kelas 10 C, kan?"
Nilam hanya mengangguk. Dia meletakkan kembali kertas presensi ke map asalnya. Nilam berjalan keluar.
"Ayo, Lele."
"Ke mana?"
"Kita ke kantin. Kita makan."
"Oh, oke!"
***
Nasi goreng pesanan Nilam dan gado-gado pesanan Lele disajikan di meja tempat mereka makan di kantin. Nilam dan Lele berterima kasih kepada Bu Nina, salah satu penjual makanan kantin, yang menghidangkan makanan untuk mereka. Sambil makan siang, Nilam dan Lele mengobrol. "Kamu mau daftar kepanitiaan pensi, gak?" Lele bertanya.
"Hmmm, sepertinya mau, tapi divisi apa, ya?"
"Yang cocok buat kamu, Nilam?" Lele berujar sebelum menyuap dirinya sendiri. Sambil mengunyah, Lele tampak berpikir. "Hmmm, gimana kalau samaan sama aku? Aku daftar divisi dekorasi artistik buat pilihan pertama."
"Ah, aku gak jago bikin dekorasi, tapi aku tertarik juga," ujar Nilam. "Aku mungkin mau yang berkaitan dengan kesekretariatan."
"Kalau gitu, divisi media aja," saran Lele. "Di situ, kamu desain dengan perangkat tapi mungkin menulis juga."
"Gitu, ya? Boleh, deh. Nah, tapi buat jaga-jaga, aku mau divisi dekorasi buat pilihan kedua."
Lele mengangguk mengiakan. Kemudian, Lele tiba-tiba melambai kepada seseorang yang sepertinya datang dari arah belakang Nilam. Orang yang disapa di belakang Nilam balas melambai dan menyapa, "Lele!"
"Lia, hei!"
"Lagi makan?"
"Iya," jawab Lele ke orang yang bernama Lia itu yang sekarang menampakkan diri di antara Lele dan Nilam di pinggir meja kantin. "Oh, Lia, ini teman sekelasku, namanya Nilam."
"Halo, Nilam. Aku Lia," Lia mengulurkan tangan kepada Nilam.
"Nilam." Nilam menjabat tangan Lia dan ikut memperkenalkan diri.
"Tanganmu halus banget."
"Oh, aku sering pakai losion," balas Nilam sambil menunjukkan cengiran karena pujian tak terduga itu.
"Lia emang suka sama skin care," timpal Lele, "jadi Lia suka cari tahu banyak hal tentang skin care."
"Sama, aku juga suka pakai skin care. Tapi, gak banyak juga," kata Nilam.
"Wah, kamu bisa kasih rekomendasi, dong," kata Lia.
Nilam tersenyum mendengarnya. "Iya. Ngomong-ngomong, kamu kelas mana, Lia?"
"Aku kelas 10 C. Kita sebelahan, kan? Aku dan Lele itu sama-sama anggota Klub Bahasa Inggris."
"Oh, kelas C," ujar Nilam. Nilam terdorong untuk bertanya, "Kamu kenal Gading Alfarubi?"
"Kenal! Dia salah satu siswa terajin di kelas. Kenapa kamu bertanya?"
"Oh, gapapa. Aku dan Gading Alfarubi itu sama-sama pembantu OSIS saat ini."
"Aku juga pembantu OSIS," Lele pun sontak menimpali.
"Aku cukup akrab dengan Gading Alfarubi itu, kok. Ada yang mau disampaikan? Mengenai OSIS? Kenapa kamu panggil Rubi sampai dengan nama lengkapnya begitu?"
"Ah, tidak. Aku baru kenal dengan dia kemarin Kamis. Jadi, apa aku baiknya panggil dia Rubi atau Gading?"
"Rubi saja." Lia dan Lele menjawab berbarengan.
"Oke, oke."
"Kamu tahu, harusnya nama dia bukan Rubi dari Alfarubi itu. Ayahnya mau nama dia Alfarabi, seperti nama ilmuwan atau filsuf Timur Tengah. Tapi, huruf A kecil yang terakhir di 'Alfarabi' terlihat seperti huruf U kecil di tulisan tangan ayahnya. Makanya, nama yang didaftarkan malah jadi "Alfarubi"."
"Oooh," Nilam menanggapi lalu beralih ke Lele sambil mengangkat kedua alis seolah mengonfirmasi: Jadi, kamu tahu ceritanya dari Lia?
"Kamu tahu dari mana ceritanya? Itu sungguh ... asal usul yang menarik," tanya Nilam lagi ke Lia.
"Rubi sendiri yang pernah cerita. Kan aku sudah bilang, kita cukup akrab."
Nilam manggut-manggut. Lele turut menyimak.
"Oke, kalau tidak ada yang mau kamu bilang, aku pergi dulu. Aku mau ke ruangan klub," kata Lia.
"Emangnya ada apa di klub?" tanya Lele.
"Ah, aku cuma titip tas di sana."
"Oh, oke, Lia. Dadah!"
"Dah, Lele, Nilam." Lia meninggalkan meja mereka.
Nilam menghabiskan nasi gorengnya, mendahului Lele yang belum menyelesaikan makannya. "Ayo, habiskan."
"Sabar, tenang." Lele menghabiskan gado-gadonya hingga suapan terakhir. Setelah gado-gadonya habis, Lele bertanya, "Jadi, habis ini, kamu mau langsung pulang duluan ke rumah?"
"Ya, aku mau pulang. Jadwal mata pelajaran lintas jurusanku sedang tidak ada minggu ini."
"Kamu belum ikut bimbel?"
Nilam menggeleng. "Belum. Semester depan saja aku ikutnya."
"Oke," balas Lele sambil mengangguk. "Aku juga mau pulang. Aku mau ambil tasku di ruang kelas."
"Ya. Ayo kita ambil tas."

KAMU SEDANG MEMBACA
JAMETOLOGY
Ficção AdolescenteNilam tidak menyukai laki-laki jamet alias 'jajal metal' yang suka berpakaian dan punya gaya berbicara aneh serta menongkrong dan mengobrol berkepanjangan seperti tidak ada tujuan. Menurutnya, masa muda tidak boleh dilewati secara sia-sia tanpa renc...