JAMETOLOGY BAB XI

94 38 5
                                    

Nilam menutup laptopnya di atas meja makan. Di rumah, ibunya, yang bernama lengkap Intan Kirana Resi, sedang memasak untuk makan malam pada pukul 19.00 ini. Nilam awalnya berniat membantu ibunya memasak setelah semua tugas di laptopnya selesai dikerjakan, tetapi terbersit di pikirannya soal yang lain lagi.

"Bu, boleh Nilam cerita suatu hal gak, Bu?" tanya Nilam yang masih duduk di kursi ruang makan.

Bu Intan, yang berdiri membelakangi Nilam sambil memotong-motong sayuran di meja dapur, mengangguk-angguk. Meski putri sulungnya memang terkadang bercerita tentang sesuatu, tetapi Bu Intan memercayai firasatnya bahwa yang akan diceritakan Nilam ini adalah sesuatu yang tidak biasa. "Ya, tentu boleh, Nak."

"Bu, tadi ada yang menyatakan perasaannya ke Nilam. Dia bilang, dia suka sama Nilam."

Bu Intan berhasil menyelesaikan potongan sayurannya lalu memasukkan potongan-potongan tersebut ke air mendidih dan menutup pancinya. Bu Intan meletakkan pisaunya di atas marmer meja dapur lalu membalikkan badan. "Oh ya?! Teman sekolah Nilam? Orangnya ganteng, gak?"

Nilam menggeleng sambil tersenyum kecut. "Iya, teman sekolah. Menurut Nilam, sih, dia orangnya berantakan, jadi bukan seleranya Nilam. Nilam udah nolak. Nilam lagi gak mau pacaran pula."

"Dianya mau pacaran juga, enggak?"

"Dia juga lagi gak mau sebenarnya. Dia tiba-tiba aja bilang kalau dia suka Nilam, tapi gak ngajak Nilam pacaran."

Bu Intan mengangguk-angguk lagi. "Terus?"

"Bu, Nilam salah gak, Bu? Kalau nolak?"

"Lho? Kamu tadi bilang kalau dia bukan selera Nilam. Emang kamunya suka juga ke dia?" Bu Intan bingung.

"Enggak suka sampai yang perasaannya seperti itu, Bu. Sebenarnya, dia baik, rajin, dan pintar. Dia gak sekelas sama Nilam, tapi Nilam tahu kalau dia salah satu siswa unggulan di kelasnya sendiri. Jadi, kalau gitu, salah gak?"

"Kan bukan selera kamu," ingat Bu Intan.

"Tapi—"

"Oh, Ibu paham," erti Bu Intan, memotong kata-kata Nilam. "Karena dia baik, rajin, dan pintar itu, kan? Sayangnya, dia bukan seleranya Nilam. Ya, kamu gak salah. Selera dan perasaan orang enggak bisa dipaksa-paksa."

Nilam menghela napas. Dia merasa sedikit lega. "Cuman, Nilam merasa kalau Nilam terlalu keras ke dia." Nilam menceritakan dirinya yang menarik Rubi keluar ruang OSIS lalu mengata-ngatainya berantakan.

Bu Intan menyunggingkan senyum lalu kepalanya menggeleng-geleng. "Kamu ini. Ya, itu memang agak keras, Nak. Sayang, sih, kalau Nilam sampai kehilangan teman potensial yang baik karena perlakuan kasar Nilam. Makanya, Nilam besok bisa bertemu dengan teman sesama pembantu OSIS Nilam buat minta maaf, enggak?"

"Kayaknya bisa. Kan kelas kami dekat," jawab Nilam disertai anggukannya.

"Oke. Minta maafnya mengenai perlakuan dan kata-kata kasar Nilam, ya. Kalau soal kamu menolak pernyataan perasaannya, itu masih hak kamu. Kamu enggak sepenuhnya salah soal itu, jadi enggak perlu minta maaf karena menolak," kata Bu Intan sambil melirik sayurannya yang masih direbus. "Tapi, kalau dia benar-benar suka sama kamu, Nilam, dia pasti memaafkan."

"Ibu jangan ikut menggoda pula."

"Enggak, kok." Bu Intan terkikih. "Kalau dia memang orang baik, dia pasti memaafkan," ralat Bu Intan terhadap dirinya sendiri. "Ibu yakin, Nilam sebagai anak Ibu sebenarnya juga orang baik karena Ibu serta Ayah mendidik Nilam dan adik-adik sebaik mungkin yang Ibu dan Ayah bisa."

"Ya," Nilam menyetujui Bu Intan. "Nilam bakal minta maaf ke dia."

"Bagus. Nilam ingat-ingat, ya."

Nilam melihat panci berisi sayur dan air rebusan yang mulai menggelegak. "Bu, jangan lupa pancinya. Ibu lagi merebus sayur."

"Iya." Bu Intan mengambil sebuah garpu sebagai penentu kekerasan sayur yang direbusnya. "Ibu harus cek wortel dan labunya sudah dimasak sampai matang atau belum."

JAMETOLOGYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang