Akhir-akhir ini, Nilam sudah gencar mengikuti webinar yang berhubungan dengan industri. Webinar terakhir yang Nilam ikuti adalah beberapa webinar berseri yang membahas industri pertambangan dan perminyakan. Nilam pun memiliki buku catatan khusus untuk menuliskan materi-materi webinar yang pernah diikutinya. Nilam terkadang melanjutkan menulis catatan materinya di kelasnya, di sekolah.
"Nilam, kita mau istirahat siang ke luar kelas. Kamu mau ikut?" tanya Lele. Lele sudah sembuh dari sakit flu. Lele, beserta Mayang yang berdiri di sebelahnya, bertanya kepada Nilam yang sedang mencatat materi tentang batu-batu pertambangan.
"Oh," Nilam menengadah, melihat Lele dan Mayang di depan mejanya. Nilam duduk di barisan meja paling depan. "Wah, aku mau menyelesaikan catatanku yang ini. Aku takut lupa, soalnya ada banyak macam-macam batu."
"Kamu rajin banget, ya," komentar Lele. "Ya udah, gapapa, Nilam. Kamu selesaikan catatanmu dulu."
"Iya, maaf ya. Nanti, deh, aku susul kalian."
"Oke, Nilam, kita mau keluar buat istirahat dulu," kata Mayang.
Lele dan Mayang keluar dari kelas, Nilam lanjut menulis. Nilam merasa takjub karena berbagai macam batu bisa sangat bermanfaat untuk industri. Ada obsidian dan opal Etiopia (atau opal hydrophane) yang terbentuk dari lahar dan aktivitas vulkanis. Obsidian yang berwarna hitam gelap tetapi berkilat dahulu digunakan untuk bilah senjata. Opal Etiopia bisa menentukan kelembapan lingkungan karena dapat menyerap air sehingga warnanya berubah jika menyerap sejumlah air. Ada batu syenit yang mengandung sodalit fluoresens—disebut juga batu yooperlite. Batuan syenit biasa digunakan untuk konstruksi dan dekorasi bangunan. Namun, batu syenit yang mengandung sodalit fluoresens ini bisa memantulkan cahaya UV sehingga dapat terlihat bersinar kekuningan saat disinari. Kini, batu-batu itu sering dijadikan batu permata untuk perhiasan dan Nilam mempelajari industri permata perhiasan di webinar tersebut. Nilam menjadi tahu perbedaan tiap-tiap jenis batu, zat mineral yang menyusun batu, dan bagaimana batu-batu itu terbentuk.
Akhirnya, Nilam selesai menulis catatan webinarnya. Nilam menghembuskan napas. Tidak terasa bahwa Nilam jadi satu-satunya yang tinggal di kelas saat ini. Nilam beranjak dari kursinya dan berjalan ke luar kelas. Saat Nilam berjalan keluar, Lele dan Mayang tengah berjalan ke kelas dari arah yang berlawanan.
"Oh, kalian," Nilam hampir berpapasan serta melihat Lele dan Mayang yang berjalan kembali ke kelas. "Kalian sudah makan?"
"Sudah, Nilam," jawab Mayang. "Kita sudah selesai makan duluan."
"Wah, aku keasyikan menulis. Maaf banget, ya." Nilam mempertemukan kedua telapak tangannya sendiri.
"Iya, iya, gapapa. Kamu sendiri cepat makan siang aja. Waktunya tinggal 15 menit soalnya," kata Lele.
"Jangan lupa masuk kelas lagi," tambah Mayang.
"Iya. Aku makan siang dulu, ya."
Nilam berjalan cepat ke kantin sementara Lele dan Mayang sudah kembali ke kelas. Nilam memutuskan untuk memakan onigiri rasa tuna mayo yang dijual di kantin. Nilam hanya butuh waktu kisaran lima menit untuk menghabiskan onigiri-nya. Setelah minum minuman ringan teh manis kemasan botol, Nilam meninggalkan kantin.
Jalan dari kantin ke ruangan kelas 10 melewati tempat tata usaha (TU) sekolah. Saat berjalan, Nilam melihat Rubi yang baru saja mau memasuki ruang TU. Nilam sudah menemukan Rubi, siswa dengan poni asimetris itu. Nilam ingin menanyakan sesuatu ke Rubi mumpung orangnya ada di depan mata Nilam. Tanpa keraguan, Nilam pun memanggil Rubi.
"Rubi!"
Rubi mendengar namanya dipanggil oleh Nilam. Ia mundur beberapa langkah dari pintu ruang TU dan Nilam berjalan mendekati Rubi sampai mereka sudah berada dalam jarak yang cukup dekat.
Nilam memperhatikan Rubi yang memakai seragam adat warna hitam. Hari Kamis memang menjadi jadwalnya para siswa SMA Negeri 612 memakai seragam adat, seperti baju pangsi untuk lelaki atau kebaya untuk perempuan, tetapi tidak wajib. Meskipun posturnya tidak terlalu cocok memakai seragam pangsi, tapi dia tampak lebih rapi kalau begini. Tumben, bisa-bisanya. Nilam berkomentar dalam hati.
"Halo. Nilam, kan? Ada apa?"
Nilam melakukan gerakan mengibas dengan tangan kanannya sebagai balasan. "Enggak ada apa-apa. Aku cuma mau tanya sebentar."
"Tanya apa?"
"Kamu tahu nama lengkapku?"
Rubi mendengus lalu tersenyum sampai matanya menyipit lagi. "Nilam Widita Nurdiani."
"Dari mana kamu tahu?"
"Dari daftar presensi pembantu OSIS, ada nama-nama lengkapnya, waktu kumpul-kumpul begitu. Kamu tahu dari mana aku tahu nama lengkap kamu?"
"Dari Lia. Siti Emeralia Khatulistiwa. Aku kenal Lia dari kelas 10 C, sekelas sama kamu. Dia tahu nama lengkapku karena kamu memberitahunya."
"Oh! Lia. Iya, aku duduk di meja di depan mejanya Lia. Kami jadi sering mengobrol karena kami duduknya berdekatan. Ya, aku pernah menyebut nama lengkapmu saat mengobrol dengan Lia."
"Oh, begitu, ya?"
"Kamu tahu? Namamu mudah diingat."
Nilam menelengkan kepala dan bertanya untuk memastikan, "Semudah itu?"
"Ahaha. Serius, namamu menarik perhatian. Waktu itu, aku belum tahu mana yang namanya Nilam. Ternyata itu kamu, yang ada di kafe mengerjakan tugas webinar bahasa Indonesia. Bukti dari mudah diingat: Lia juga ingat nama lengkapmu."
"Terus? Kenapa kamu tertarik?"
"Namamu, Nilam. Aku pernah bilang kalau nama kita sama-sama nama batu," kata Rubi. "Aku dipanggil Rubi, batu permata berwarna merah. Nilam batu permata berwarna biru. Begitu."
"Ah." Nilam pun mengangguk-angguk lalu bertanya, "Kok kamu tahu banyak soal nama-nama permata? Kamu mau kuliah masuk Teknik Geologi? Atau Teknik Pertambangan? Metalurgi? Material?" Nilam mengingat-ingat materi webinar pertambangan yang pernah dia ikuti dan menyebutkan jurusan-jurusan kuliah yang terkait kepada Rubi.
Rubi menggeleng. "Enggak. Aku enggak berminat masuk situ. Itu bukan minatku. Aku cuma kebetulan tahu aja."
Nilam mengangkat sebelah alis. Dia tidak mau masuk keteknikan. Atau belum mau. Kemudian, salah satu sudut bibir Nilam berkedut. Nilam pun pamit ke Rubi, "Makasih infonya. Aku mau pergi ke kelas lagi, Rubi."
"Sama-sama, Nilam." Rubi melambaikan tangan pertanda "dadah" ke Nilam.
Nilam berpisah dengan Rubi yang ke ruang TU dan berjalan kembali ke kelasnya. Bukan jurusan-jurusan kuliah itu yang ingin dimasukinya. Dia bahkan mungkin belum tahu mau kuliah di mana, pikir Nilam.
KAMU SEDANG MEMBACA
JAMETOLOGY
Fiksi RemajaNilam tidak menyukai laki-laki jamet alias 'jajal metal' yang suka berpakaian dan punya gaya berbicara aneh serta menongkrong dan mengobrol berkepanjangan seperti tidak ada tujuan. Menurutnya, masa muda tidak boleh dilewati secara sia-sia tanpa renc...